“UN
itu fenomena biasa. Jangan latah dengan keadaan yang tak semestinya jadi drama
dan didramatisr sedemikian rupa. UN itu biasa”
Dari Google |
Menjelang
beberapa hari menuju Ujian Nasional. Para murid dan para guru mulai gelisah
dengan pertempuran melawan pertanyaan tersebut. Padahal UN juga setiap tahun
diadakan. UN itu fenomena biasa. Dan UN hanya sebagai tes pantas atau tidak
murid lulus. Lantas apa yang menjadikan UN sebagai fenomena luar biasa. Dalam dunia
akademisi hal tersebut wajar-wajar saja dan biasa-biasa. Tidak perlu
didramatisir sehingga keadaan semakin keruh.
Ketakutan
pada UN pula yang menjadikan selama ini lahir oknum yang merusak serta membuat
kecurangan dalam penyelenggaraan UN. UN dibuat untuk menjadi filter mana yang
pantas dan tidak pantas. Kalau memang yakin pantas lulus dalam artian mampu
menjawab, lantas faktor apa yang menjadikan kegelisahan itu hadir.
Beberapa kali
saya ditanya oleh teman saya dari sekolah lain yang notabenenya adalah sekolah
negeri dan bisa dikatakan lebih favorit. 2 kali saya bertemu dan dua-duanya
dengan pertanyaan yang merujuk pada UN “DENGAN CARA CURANG”. Namun hanya sekedar
pertanyaan dan pembahasan yang mana belum tentu juga dilaksanakan.
Pertama kali
bertemu adalah di toko. Pertanyaan untuk pertemua yang pertama ini sangat tidak
saya paham.
“piye
channele? (bagaimana channelnya)?
Saya yang dengan
spontan berfikir bahwa yang dibahas adalah channel televisi pun langsung
menghadirkan tanya dalam kepala saya. Apa yang salah dari TV saya dan bagaimana
ia tau kalau memang channel Tv saya problem. Dengan ketidak mengertian yang
memang ada. Saya berfikir bahwa mengembalikan pertanyaan mungkin adalah
kebijakan yang arif.
“apa
maksudnya?”
“jangan
pura-pura tidak tahu, toh!”
“lha memang
saya tidak paham”
“UN”
Saya pun
berhenti bertanya. Kalau sudah sola UN dan dengan kata channel. Saya sudah
berfikir bahwa yang dibahas adalah cara curang. Entah bagaiamana sistem channel
yang dimaksud. Akan tepai kata channel yang dipakai untuk UN tersebut menghadir
pikiran negatif tersendiri.
“halah,
saya tidak ngurus UN” sembari meninggalkannya pergi sebab
yang saya beli udah dapat.
Dipertemuan
yang kedua, saya kembali bertemu didepan rumah saya. Karena ia titip sesuatu
untuk diberikan pada tetangga. Setelah memberi, dengan nada agak ragu ia bertanya
kembali pada saya soal UN.
“em, emh,
bagaimana channel sekolahmu?
“sekolah saya
tidak ada yang begitu”
“gak percaya”
“ya sudah”
Dan saya pun
pergi kembali pergi meninggalkannya yang mungkin memang juga ingin segera
pulang.
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa UN yang selama ini dilaksanakan dipenuhi dengan kecurangan.
Namun saya sangat berharap bahwa tahun ini tidak ada lagi kecurangan seperti
tahun-tahun sebelumnya yang memilukan tersebut. Bahkan pemerintah sudah
mengantisipasi dengan berbagai cara agar UN tidak lagi diliputi berbagai
kecurangan.
Sudahlah, UN
itu biasa. Tidak perlu ada cara curang untuk lulus. Takut tidak lulus itu bukan
ciri khas orang Indonesia. Apalagi sampai memakai cara curang. Itu benar-benar
bukan ciri khas orang Indonesia yang menekankan kejujuran dan kelapangan dada
dengan apa yang dihasilkan dari perasaan otak dan keringat sendiri.
Salam
Moti
Peacemaker