Cerita Flat La Barka


Tentu saja saya bukan penulis review yang baik. Dan lebih baik ini tidak dianggap sebagai review. Seadaanya saja, semengalirnya saja. Saya tidak ingin terkekang dengan batasan-batasan aturan review. Anggap saja ini cerita, curhat, atau sharing, dan semacamnya. Atau terserah dianggap sebagai apapun. Itu sah, boleh, tidak haram.
google
Selain bukan penulis review, saya juga bukan pengamat yang baik tentang buku. Ah, baru berapa buku yang saya baca. Belum ada 1000. Dan belum bisa konsisten 200 halaman sehari. Masih jauh dari kualitas guru saya, Siddi Da Luthfi Muhammad ketika muda yang mencapai lebih dari 400 halaman. Dan kini menurun menjadi 200 halaman seiring dengan kesibukan beliau diberbagai bidang.
Saya tidak menjustivikasi bahwa Novel yang saya baca ini tidak menarik atau buruk. Tidak ada karya yang buruk, setidaknya sang penulis telah menorehkan dan meluangkan jutaan menit waktunya untuk menulis buku tersebut. Mungkin karena saya yang tidak fokus membaca hingga kehilangan momen-momen klimaks, atau mungkin dari awal novel tersebut tidak sesuai dengan Novel yang saya harapkan.
Novel yang ditulis oleh NH. Dini berjudul La Barka ini terbit pertama pada tahun 1975 (Grasindo). Dan diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2010.
Apakah ceritanya menarik? Jika boleh jujur. Secara pribadi, saya menganggap bahwa cerita yang dibawakan terlalu datar. Seperti yang saya bilang, mungkin saya membaca cerita klimaksnya sedang tidak fokus atau mengantuk. Tapi sampai akhir cerita, tidak ada gejolak permasalahan yang benar-benar menjadi api. Seperti cerita curhatan biasa. Jika pembandingnya adalah cerita dari Bernard Batubara dengan Surat Untuk Ruth. Saya kira La Barka masih berada beberapa strip di bawahnya. Kakurangannya La Barka berada pada ceritanya yang tidak berkembang dengan baik. Tidak ada sebuah hal yang ditunggu. Tidak ada masalah yang dimunculkan dengan sungguh-sungguh. Sedang Bernard Batubara dengan Surat Untuk Ruth-nya bisa menghidupkan cerita dengan sangat menarik, gaya bahasa dengan diksi yang hidup, dan tidak menyisihkan kepuasaan pembaca untuk mendapatkan klimaks cerita.
NH. Dini bukan penulis yang tidak menggeluti dunia cerita dengan baik. Ia adalah seorang penulis produktif dengan banyak bukunya yang diterbitkan. Sayangnya saya hanya punya La Barka. Yang tentu saja belum bisa menelisik lebih jauh karakteristiknya dalam menulis. Saya mengira, mungkin, sekali lagi, mungkin dan semoga ini adalah cerita satu-satunya yang ia ciptakan tanpa menghadirkan klimaks cerita yang sungguh-sungguh.
Sesungguhnya ini bukan posisi saya untuk mengkritisi penulis senior yang malang melintang dengan kepenulisannya. Siapa saya? Saya tidak memiliki kasta dan derajat untuk berani-beraninya mengkritik buku ini.
Ah, semoga ini tidak bisa dianggap kritik. Lebih baik dianggap sekedar sharing bahwa saya tidak menemukan klimak cerita yang saya cari. Dan mungkin itu kesalahan saya pribadi sebab tidak fokus atau mengantuk. Mungkin, mungkin saja.
Tentang kenapa saya membaca sampai habis jika memang cerita yang dihadirkan tidak menarik? Saya orang yang suka bosan dengan satu judul buku dan sering berganti buku jika buku tersebut tidak menarik. Tapi beberapa bulan ini, saya mencoba untuk tidak lagi menjadikannya sebagai tradisi. Itu bukan tradisi baik. Dan pada akhirnya saya harus menikmati apapun bentuk buku yang saya baca. Sebab itu adalah konsekuensi saya telah membeli dan telah membukannya, serta telah memulai membacanya. Dan kewajiban atas diri saya terhadap buku tersebut tentu saja membacanya sampai tuntas.
Tidak ada buku yang tidak memberikan pelajaran. Dan cerita dalam buku La Barka inipun juga bukan berarti kering dari pelajaran yang bisa diambil. Tidak! Tidak! Semua buku menyimpan pelajaran menurut sisi masing-masing. Begitupun Novel ini.
Latang belakang lokasi yang berada di perancis semakin menguatkan pandangan saya tentang pergaulan manusia-manusia disana yang bebas. Sangat berbeda dengan kultur asli budaya Indonesia. (Asli: karena kini banyak orang-orang pribumi yang kini memebudayakan diri menjadi manusia barat).
Angka perceraian yang tinggi dan moralitas –menurut bangsa indonesia- yang buruk, peraturan kehidupan, dan masih banyak hal yang bisa saya dapat. Pelajaran yang baik. Meski saya tidak menemukan klimaks cerita. Tak mengapa, setidaknya saya membaca sampai selesai dan tidak membaca dengan sia-sia
Terima kasih Bu NH. Dini.

Salam

Moti Peacemaker

8 komentar:

  1. wah wah... banyak sekali baca 200 halaman setiap hari.. keren! salut....
    semangat mas Moti!!

    BalasHapus
  2. Kritik yang membangun itu tidak ada masalah. Setidaknua mas moti sudah menyampaikan apa yang sudah dibca. Saya sendiri juga belum begitu bisa mereview suatu buku. Lihay saja review buku di blog saya, masih seadanya. Hehehehe. Semua bisa karena terbiasa, mari terus belajar. :)

    BalasHapus
  3. yap benar, gk ada karya yg bruk, mmang mungkin abg udh ngelewatin yg bgusny dlm bku.

    200 halaman perhari? waw. itu udh keren tw bg. guru abg 400, waw waw waw. bisa baca 10 halaman perhari aj udh alhamdulillah rasanya. perlu dibiasain nih.

    BalasHapus
  4. Sehari 200 halaman? Waw.. Itu udah luar biasa buat saya, apalagi guru kakak 400? -_- gak kebayang...

    Keep writing! ^^

    BalasHapus
  5. Wah wah.... bong Moti ngereview.... bgs kok reviewnya... dan setahu sy sih klu ngereview it yah dari pandangan kita terhadap buku tsb... jd tdk mslh klu mw mengkritisi... sy jg baru belajar review lho... heheh

    Oia.... Kayaknya itu buku udah lama banget yah jd gak bs dibandingkan dong dgn Ben... zaman dl dgn skrg kan beda... dan seleranya bacanya jg gak sama... mungkin yah... tp sy jd penasaran deh bgaimana isinya?

    BalasHapus
  6. keren zugaaa target konsistennya 200 halaman perhari, gue aja baca 5 halaman udah puyeng kadang -___- makanya buat ngabisin bacaan dalam satu buku butuh waktu yang lama hhe -__-

    BalasHapus
  7. Keren berarti baca bukunya hampir 1000-an yaa kalau bahasanya 'belum ada 1000'...
    200 lembar perhari itu keren banget lho. Saya aja kalau baca udah ketiduran dulu, kecuali kalau ceritanya benar-benar pas di hati, bisa-bisa sekali duduk selesai.

    BalasHapus
  8. Kerenlah, sehari 200 halaman. :)
    Saya aja belum bisa sehari 200 halaman. Belum bisa membagi waktunya, hehe.
    Itu buku lama ya? Jujur, saya belum terlalu bisa memahami tulisan buku lama. Jadinya jarang membeli buku lama.. :(

    BalasHapus