Aku telungkupkan tanganku, tepat di depan mata.
Mengalirkan hening paling akrab yang pernah tersapa. Hening adalah kehidupan.
Penat adalah sekarat.
Perempuan bersatir itu, menyelam dalam rindu.
Menghentikanku pada detik dimana seharusnya aku bergerak. Mematungkanku, dalam
ruang yang seharusnya sepenuhnya miliku. Perempuan bersatir itu membuatku rela
begitu saja menyesakkan ruangku untuknya. Perempuan bersatir itu.....
Kala senja datang, aku memilih diam. Menantinya penuh
harap. Jalanan yang lengang terasa dipenuhi dengan suara degup jantungku
sendiri. Aku tetap diam. Tapi tidak dengan degup jantungku.
Lalu aku katakan pada diriku sendiri ketika perempuan
itu lewat begitu saja, tanpa aku bicara sepatah katapun dan meninggalkan aroma sweet pink setelah dua meter berlalu. “Laki-laki
yang hanya berani menutup mata ketika jantungnya terbawa larut dalam ketakutannya
sendiri di depan perempuan yang ia kagumi adalah laki-laki yang kehilangan
naluri”.
Aku meletekkan kembali keberanian yang berhari-hari
kurangkul agar tak lepas. Sia-sia. Aku buka mataku dengan nafas kehilangan asa.
Keberanian yang buyar itu, akhirnya toh bukan tidak menyisakkan luka.
Kekhawatiran imajinatif itu membuyarkan keberanian yang sudah berhari-hari
diyakin-yakinkan.
“Alasan ketakutan menindas cinta, bagiku adalah hal klasik
yang tak lagi pantas diajak bersama”
Aku kaget bukan kepalang. Suaranya begitu dekat. Nafasnya
berdesir di telinga. Tapi hati, hati yang girang bukan kepalang. Lantas lindap,
degup jantung kembali mengambil posisi paling sentral. tiga meter berlalu, ia
kembali kearahku dan mengucapkan kata itu dari bibirnya, tanpa ada nada canggung,
apalagi ragu. Ia seperti membaca sikapku yang mati kutu digilas keadaan ketika
berhadapan dengannya.
Wajahnya yang meneduhkan itu tak benar-benar ada ketika
aku berada di hadapannya. Kalah dengan gugupku. Meski dihiasi senyumpun, aku
tetap sama. Diam!
“Ada seribu alasan yang membuatku memilih untuk tak
berdaya di hadapanmu. Tapi tak pernah ada satupun alasan yang membuatku yakin
bahwa diam adalah pilihan terbaik” Kataku, dalam hati.
Aku ramai luar biasa dalam diamku. Harusnya aku lebih
berani dari ini. Aku jatuh hati, lalu memilih tak punya nyali? Menurutku sama
sekali tidak etis! Meski faktanya, aku tetap membisu.
“Harusnya kamu punya jiwa sebesar cintamu yang
memilih jatuh hati. Harusnya kamu memilih tidak kalah oleh dirimu sendiri untuk
cintamu esok hari. Harusnya kamu membuatku tidak merasa sia-sia kembali kesini,
membuatkan ruang untukmu mengatakan sesuatu. Harusnya kamu tidak memilih jatuh
cinta jika diam adalah ungkapan cintamu” Ucapnya, lalu berlalu dariku. Aku
masih mematung, tidak mengatakan apapun.
Perempuan bersatir kain di rambutnya itu, membuatku
sedikit belajar. Bahwa kebisuan adalah tanda cinta yang hampa. Tapi aku masih
yakin, dengan diamku, aku bisa membuatnya datang esok hari, dan mengatakan, “aku
bersedia”.
|||
“Saya ndak bisa, bu. Saya selalu hanya diam, bahkan
hanya untuk mengucapkan hei saja tak bisa. Apalagi menyatakan
cinta. Saya rasa, auranya mengalahkan rasa beraniku”
“Harusnya jatuh cinta membuatmu bernyali baja, nak”
“Akupun berharap demikian. Tapi nyatanya belum terjadi.
Tapi aku yakin, aku sedang jatuh hati padanya”
“Kau yakin, dengan diam kau bisa mendapatkan cintanya?”
“Apakah cinta hanya bisa didapat dengan tidak diam?
Meski akupun masih tetap yakin bahwa diam bukanlah opsi terbaik”
“Jadi?”
“Aku titip ini untuknya, bu. Barangkali esok hari
ketika ia datang padaku dengan senyum bahagia yang benar-benar bahagia, aku
bisa mematikan diamku”
|||
“Beri sedikit waktu, biar cinta datang karena telah
terbiasa”
1 Januari 2016