Pada “musibah” yang ditulis oleh Samuel Mulia di kolom “Parodi” Kompas (19/8), banyak sekali keluhan tentang kejadian-kejadian berderet yang menimpanya. Dengan rentetan itu, ia merasa tidak nyaman. Lantas memaparkan sedikit pelajaran, dari dominasi kesedihan dan kegelisahan yang menghinggapinya. Tapi dari rangkaian itu, pembaca menjadi tahu, bahwa tulisan berisi tentang kesedihan-kesedihan itu menjadi bacaan yang dianggap Kompas layak muat. Bahkan dimuat tiap minggu dengan genre yang kurang lebih sama. Dan sampai pada kesimpulan, untuk menjadi tulisan yang dianggap orang lain bagus, ada prosesi yang bahkan kadang berliku dan menyedihkan. Pembaca tak banyak tahu soal ini. Yang mereka tahu, tulisan jadi! Titik.
Pun begitu halnya dengan fotografi. Beberapa foto dan video sesi pemotretan
dengan hasilnya yang aduhai itu, ternyata dilakukan dengan proses yang rumit
dan bahkan lucu. Tanpa melihat sesi pemotretan itu, kita mungkin hanya akan
terkungkung pada bagus dan tidaknya, tanpa menelisik bagaimana prosesinya.
Artinya, hasil memuaskan itu butuh prosesi yang kadang tidak sesuai dengan
ekspektasi yang ada di otak kita. Melihat hasilnya yang ‘ekselen’, bayangan
prosesnya terkadang sudah lumat dahulu. Tapi andai kata tahu prosesnya, malah
kadang-kadang menyepelekan hasilnya. Meskipun itu bagus. Apalagi kalau jelek!
Ya, meskipun untuk beberapa hal, prosesinya malah akan menguatkan citra
baik dan makin mengukuhkan hasilnya sebagai sesuatu yang benar-benar perfect.
Karena bunga yang diberikan dengan proses penuh perjuangan, berbeda rasanya
dengan yang ambil begitu saja di pinggir jalan.
Di era yang terbuka seperti sekarang, “mempertontonkan” proses menjadi
sesuatu perlu dan tak perlu. Perlu untuk keterbukaan. Tetapi soal kesiapan, tampaknya bangsa ini belum benar-benar siap. Karena pada kenyataannya, kita
masih suka mengomentari proses dengan nada rendahan. Tidak punya keyakinan
terhadap prosesi yang dijalankan oleh orang lain, yang mungkin tidak sama
dengan prosesi yang kita ekspektasikan, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Perhitungan direferensikan dengan hitungan kita, untuk menuju pada hasil yang
sama. Naasnya, kesabaran kita masih tiarap soal ini. Belum juga hasil didapat,
proses sudah dikritisi habis-habisan. Meski dalam beberapa hal, preventif macam
ini juga penting. Tentu dengan koridor adab dan norma yang berlaku.
Hal tersebut tergambar dalam tulisan Ning Alissa Wahid di Kompas Minggu edisi 19 Agustus 2018. Di kolom “Udar Rasa” tulisan beliau yang berjudul “Dapur Masterchefs Politik” mengungkapkan hal-hal yang berkait denga prosesi-prosesi itu. Era keterbukaan ini menyibak prosesi perebutan kekuasaan sampai dapur. Sesuatu yang mungkin tidak terjadi di masa lalu, khususnya Orba.
Di masa lalu, tulis ning Alissa, realitas politik dan realitas publik
adalah dua sphere yang berbeda. Saat mereka sedang di balik layar, perkataan
dan perbuatan yang muncul dari politisi sering sekali berbeda dengan yang
mereka tampilkan di panggung publik.
Di dapur, para politisi mengolah segala sesuatu dengan cara dan sistematika
yang terus tersorot media. Baik yang resmi maupun non-resmi. Mau tidak mau,
siap tidak siap, masyarakat akan tahu soal prosesi-prosesi ini. Dan dari sini,
akan muncul interpretasi dan tanggapan yang bermacam-macam dan beragam.
Dari prosesi itu, kita tahu lika-likunya, positif-negatifnya. Berbarengan
dengan itu, kesiapan kita teruji untuk bisa mengolah diri. Toh pada akhirnya,
nanti kembali pada cara kita menanggapi. Kedewasaan dan pemahaman akan
membedakan segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar