Kinerja Jurnalis

Selasa, 18 Desember 2018, peristiwa jalan ambles terjadi di Jalan Raya Gubeng, tepat depan gedung BNI. Tidak menelan korban memang, tetapi peristiwa tersebut tentu aneh, mengingat hal itu terjadi di tengah kota. Dan tentu kejadian itu menghambat beberapa orang yang biasa melewati jalan itu ketika bekerja.

Pukul 10 malam, saya diutus oleh Romo Guru Siddi Miftahul Luthfi Muhammad untuk mencari informasi mengenai kejadian tersebut. Bersama Bapak Lurah Yang Terhormat. Saya meluncur ke lokasi. Tidak banyak informasi yang saya dapat, kecuali informasi-informasi umum seperti yang diberitakan oleh media-media portal dan koran. Khas berita. Saya tahu, karena melihat secara langsung bagaimana cara mereka mengambil berita. Kebanyakan media, ternyata mengambil second news. Karena kebanyakan mereka menunggu media besar seperti Kompas dan Metro mendapatkan narasumber. Setelah itu, mereka menanyakan ulang beberapa yang sudah ditanyakan oleh media besar tersebut.

Untuk kebutuhan berita, sesuai dengan media masing-masing, barangkali sudah cukup. Dan tentu saja,  itu tidak cukup bagi media besar, apalagi yang berbasis televisi. Mereka menyiarkan secara langsung dari tempat kejadian. Muskil bagi mereka minim narasumber dan berita.

Dari kejadian tersebut, saya mendapatkan hal-hal menarik.  

Pertama, soal bagaimana kecepatan media besar mendapatkan narasumber. Metro TV misalnya. Dari yang saya amati, mereka hanya berbekal 3 kru saja. Reporter, juru kamera, juru lampu yang merangkap juru kabel. Tapi dengan cepat, mereka bisa mendapatkan narasumber yang menarik dan terlibat langsung di dalam kejadian. Misalnya mereka mendapatkan narasumber orang yang melintas ketika peristiwa terjadi. Setelah mereka selesai, baru media lain ikut tanya-tanya di tempat yang berbeda.

Kedua, soal kesabaran. Mereka standby mulai beberapa waktu setelah kejadian, dan belum juga meninggalkan tempat sampai pukul setengah tiga pagi. Mereka masih menunggu tokoh-tokoh penting yang bisa diwawancarai. Sampai saya meninggalkan tempat (Selatan jalan tempat kejadian), belum ada tokoh yang mereka dapati informasinya.

Ada juga beberapa dari mereka yang sedikit nggrundel, karena mereka harus terjun ke tempat kejadian. Padahal niatnya istirahat sejenak. Bagaimana tidak, peristiwa terjadi pukul 10 kurang 15 menit, dan demi akurasi serta kecepatan, mereka harus segera meluncur dan melupakan istirahat.

Kedua, sense of jurnalistic. Ini yang sering disampaikan oleh Romo. Tentang hal sekecil apapun yang bisa jadi pengamatan. Karena ketika terjun ke tempat peliputan, tuntutannya adalah berita. Tidak hanya soal kualitas, tapi soal kuantitas berita dengan angle yang berbeda. Maka seluruh yang ada di tempat kejadian adalah sumber berita. Bagaimanapun caranya. Saya melihat hal itu, dan sedikit banyak, mendapatkan dari apa yang mungkin luput dari media.

Sampa saat ini, kejadian tersebut masih didalami penyebabnya. Meskipun ada indikasi dan besar kemungkinan merupakan kesalahan proyek yang dilakukan oleh RS Siloam. Dan menurut informasi yang saya dapatkan dari Satpam Kantor Kompas, pembangunan yang tersebut memang berdampak pada bangunan di sekitar proyek. Menurutnya, proyek yang berlangsung sekitar 2 tahun lalu itu terasa sangat mengganggu ketika awal penanaman paku bumi. Bahkan plavon Kantor Kompas pernah pecah karena proyek itu. Ia juga menuturkan, bahwa proyek itu menjadikan saluran air terganggu. Sering kali air mati, bahkan tak jarang airnya keruh.

So, yang pasti, melihat bagaimana kerja jurnalistik, saya harus mengacungkan jempol. Dan melihat etos pencarian beritanya benar-benar ciamik. Lobi keamanan untuk bisa mendekat, meliput lebih detail. Dan beberapa mereka gagal. Keamanan  tidak mengizinkan. Bahkan sedikit melewati batas ring yang sudah dibatasi oleh police line saja diperingatkan. Sekali lagi, kinerja jurnalis memang luar biasa. Asal tanpa tendensi, informasi akan jadi penting dan berharga. Mereka berjasa untuk mereka yang membutuhkan berita akurat.


Möti Peacemaker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar