Dulu, ketika persaingan Ronaldo dan Messi dalam mengabsahkan diri mereka menjadi pemain terbaik dunia, orang-orang pecinta bola sejagad ikut mengukuhkan salah satu dari meraka yang lebih pantas menyandangnya. Ya wajar kalau mengunggul-unggulkan, sekalipun toh pada proses penentuannya tak terpengaruh oleh komentar pakar di media masa, apalagi cuma komentar yang berseliweran di media sosial.
Persaingan keduanya barangkali sesungguhnya lebih sederhana dari apa yang
digambarkan media. Toh media tak melulu soal informasi, tapi
juga bisnis yang membutuhkan kejutan dan “kehangatan” berita. Pembaca berita
mengobral pemahamannya di media sosial dengan bumbu tendensi dan asumsi yang
menyalakan kondisi yang sebelumnya baru “hangat” jadi “berkobar”. Pada posisi
seperti ini, ada 2 kubu yang pada akhirnya akan saling bersinggungan.
Fanatisme memblokade objektifitas mereka sendiri untuk membuka mata soal
kemampuan pesaing idola mereka. Orang-orang yang menjuluki Cristiano Penaldo
untuk menggambarkan kemampuan mantan bintang Real Madrid yang banyak mencetak
gol dari titik putih. Meski toh pada kenyataannya, Ronaldo dan Messi memiliki
rasio tendangan dari titik putih yang tak jauh berbeda. Bahkan Messi lebih
sering gagal. Pun orang-orang yang pro-Ronaldo mencari celah untuk menjatuhkan
Messi.
Pada fase ini, sesungguhnya komentar negatif itu telah keluar dari
permasalahan soal siapa yang terbaik. Melihat ini, orang-orang sepertinya
menginginkan adanya ketimpangan dalam kemenangan meraih predikat pemain terbaik
untuk idola mereka. Pesaingnya harus kalah telak. Harus jauh lebih buruk.
Maka, kalau kita melihat esensi sepakbola, perseteruan macam ini sudah
keluar batas. Toh pada kenyataannya, pertandingan yang berlangsung sengit dan
fair akan memberikan tontonan yang jauh lebih menarik daripada pertandingan
yang timpang. Orang-orang melihat El Clasico karena menganggap kedua tim punya
kemampuan yang sama-sama hebat untuk diadu. Maka layak jadi tontonan yang
menarik. Semestinya persaingan 2 pemain terbaik, dengan kemampuan yang mereka
miliki, adalah added value untuk menjadikan persaingan keduanya
yang layak diikuti. Katakanlah, Messi atau Ronaldo melawan pemain dari
Zimbabwe, apa serunya? Karena pemenangnya sudah jelas.
Jadi untuk apa menurunkan kualitas kemampuan lawan saing? Sekali lagi,
pertandingan menarik karena keduanya punya kemampuan yang bisa diadu.
Pun dengan pilpres yang menimbulkan persinggungan yang sedemikian membara
sampai akar rumput. Kita melihat berseliweran komentar salah satu kubu pada
lawan politik yang bersifat menjatuhkan. Menjelek-jelekkan lawan. Menggunakan
serangan untuk mengubah pandangan pada salah satu kubu menjadi negatif. Cara
ini, sama halnya mencari lawan yang tidak sepadan. Karena pada sisi lain, pasti
ada kubu yang diunggul-unggulkan.
Dalam hal ini, titik yang paling ditakutkan oleh salah satu kubu, adalah
kekalahan. Tapi mau bagaimanapun, pasti ada pemenang, dan pasti ada yang kalah.
Artinya, akan ada kubu yang gigit jari, bahkan mungkin tidak terima.
Pada akhirnya, semua harus kembali ke akar dan tujuan. Pilpres diadakan
untuk memilih siapa yang terbaik dari yang terbaik. Atau katakanlah, memilih
yang mendingan daripada yang parah. Yang pasti, tujuannya adalah kebaikan untuk
Indonesia. Ketika salah satu kubu yang menang, dan sudah terlanjur ada yang
mengklaim bahwa pemenangnya adalah sosok yang buruk. Hancurlah kita.
Perseteruan pasca pilpres akan terus berlanjut sampai pilpres berikutnya.
Karena yang dituju, tidak lagi yang terbaik, tetapi soal kepentingan dan merasa
lebih baik.
Ini akan menjadi berbeda, apabila cara yang digunakan menggaet pemilih
adalah menunjukkan kualitas kubu yang didukung, tanpa menjelekkan kubu yang
lain. Jika itu yang dilakukan, maka semua akan menerima apa yang terjadi. Dan
karena keyakinan bahwa yang lain juga baik, juga ingin memberikan kontribusi
pada Indonesia, yang kalah tinggal memberikan dukungan dan dorongan, serta
arahan yang sifatnya membangun. Bukan menjatuhkan.
Pilpres bukan soal siapa yang baik, siapa yang buruk, tapi siapa yang lebih
pantas memimpin. Bahwa ada kekurangan, itu soal-soal bawaan manusia. Yang jadi
soal, biasanya bukan kekurangan. Tapi perbedaan cara pandang terhadap sebuah
kebijakan yang diambil. Lantas perbedaan cara itu tidak bisa disikapi dengan
bijak. Selanjutnya, tinggal menunggu konflik.
Tapi pasca orde baru, sepertinya Pemerintah menunjukkan sikap
terbuka terhadap kritik dan saran. Pemerintah tidak melarang ada
kritik, dan faktanya tidak ada orang yang hilang ketika mengkritik. Saking
terbukanya, bahkan akhir-akhir ini kritiknya sampai melebihi batas. Artinya,
ketika itikad itu disampaikan dengan baik, dengan etika yang elegan, dengan
aturan semestinya, dan tepat sasaran, ada kemungkinan untuk diterima dan bisa
diterapkan.
Selagi tidak ada tendensi yang macam-macam. Calon presiden kita, Insya
Alloh menginginkan kebaikan untuk Indonesia. Kedua-duanya barangkali tidak
jelek, meskipun mungkin baru proses menuju baik. Tapi yang pasti, tak layak
kubu yang satu menjelekkan yang lain. Apalagi sampai tidak mengakui ada
kebaikan pada diri kubu yang lain.
Jadi, apa istimewanya Messi menang dengan pemain Zimbabwe. Dan betapa
malunya jika kalah.
Begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar