Para pecinta bola dengan cinta membara pada tanah air tentu akan kecewa luar biasa jika Indonesia tumbang dalam pertandingan. Tapi naasnya, DNA kekalahan kita lebih terasa daripada DNA juara. Harapan kemenangan kita besar, tapi yang terjadi ternyata tidak seperti itu. Kita masih saja jadi tim jago kalah.
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Entah sudah berapa banyak korban yang berjatuhan
dan kehilangan banyak keindahan hidup. Momen-momen yang kelak seharusnya
menjadi sarana nostalgia tidak benar-benar tercipta. Di depan televisi, mereka
menghabiskan nafas masa kecil. Bersama teman-teman baru yang tidak benar-benar
menjadi teman hidup dan pelengkap kekurangan. TV, Playstation, Laptop,
Smartphone. Apa yang mereka genggam tidak benar-benar melengkapi kekosongan hati
mereka. Teman setia mereka yang sesungguhnya adalah kesunyian.
Ibu yang kini tidak punya posisi atau memang
memilih untuk tidak berposisi? Keadaan ini sesungguhnya adalah keadaan yang
sangat tragis dan memilukan. Ibu mereka adalah kesunyian dan “nyawa tak nyata”.
Sejak kecil mereka harus bergulat dengan argumentasi sang ibu tentang sebuah
pilihan “emansepasi” perempuan dengan mangasingkan anak-anak untuk hidup dalam
cerita apa adanya, tanpa varian cinta seperti anak-anak lain ketika Ibu masih
“buta emansepasi” dan memilih di rumah.
Atas nama ekonomi, mereka meninggalkan rumah dan
anak-anak dengan menitipkan pada pembantu. Anak-anak berinduk baby sitter. Cara hidup demikian
sesungguhnya mengasingkan anak-anak di sudut kehidupan. Sepi, dan rindu. Tapi
kapitalisme dan hedonisme tanpa sadar telah menciptakan suasana seolah
“inflasi” dalam keluarga selalu saja menghantui. Segalanya yang ada dalam
keluarga seolah tidak pernah cukup.
Anak-anak kehilangan bahasa ibu karena induk
sesungguhnya memilih untuk memisahkan identitas mereka dari kodrat kehidupan
sang buah hati. Kau lihat dan amatikah pemandangan kehidupan tragis mereka?
Apakah seorang ibu meninggalkan anak-anak mereka di rumah adalah sebuah hal
yang tabu?
Seorang ibu sah dan “sangat dianjurkan” untuk
keluar dan lupa rumah oleh kapitalisme dan hedonisme. Keinginan yang menumpuk
dan belum terealisasi adalah tanda kekurang sempurnaan hidup hingga kerja dan
dapat uang menjadi prioritas mati-matian.
Kesentralan Ibu dalam mendidik anak dan menciptakan
generasi berkualitas tidak lagi diindahkan. Hingga dengan alasan yang sangat
remeh, posisi sentral dibiarkan kosong. Lantas menggunakan subtitusi yang tidak
layak sebagai pengganti pendidik anak-anak mereka.
Kita lalai dengan kenyataan bahwa seorang Ibu
adalah magnet kasih sayang dari seorang anak. Kita tahu bahwa secara langsung
atau tidak langsung seorang anak terseret ke dalam pusaran cara berpikir seorang
ibu. Tanpa sadar, seorang anak sejak kecil telah dididik secara untuk
menyingkirkan banyak hal demi kerja dan materi. Ibu mereka sendiri yang
mengajari. Dan mereka sendirilah korban hedonisme dan kapitalisme orang tua
mereka.
Seorang anak menangis minta susu. Susu kebutuhan
itu ikut terbawa ke ruang kerja. Susu kaleng dan sapi jadi pengganti.
Susu ibu untuk siapa?
Salam
Möti Peacemaker
Kehidupan
semakin maju dengan berbagai penemuan yang ada. Tekhnologi yang ada saat ini
semakin canggih. Ada rasa kekhawatiran dari berbagai pihak tentang
keberadaannya yang dalam satu sisi bisa dianggap sebagai hal yang positif,
namun tidak bisa dipungkiri, disisi lain juga bisa menjadi sebuah hal yang
bersifat negatif.
Semuanya
kembali pada individu masing-masing. Bagaimana ia mampu memanfaatkan apa yang
ada. Mereka yang sadar akan kehidupan, kemungkinan besar tidak akan
menggunakannya sebagai sebuah hal yang mendorong pada arah yang buruk. Dan arah
negatif jangan pernah dijadikan sebagai pilihan. Terkadang kita sendiri yang
tidak sadar akan hal ini, menggunakan hal negatif sebagai pilihan. Disamping
keberadaan positif yang juga tidak patut untuk dijadikan sebagai pilihan, namun
harus sebagai kewajiban.
Kalau
ditelisik dari sisi ini. Tentu apa yang ada saat ini, dengan berbagai perkembangan
dan fasilitas yang ada. Tertinggal soal berfikir tentu adalah sebuah hal yang
aneh, sangat aneh. Kemampuan intelektual generasi muda saat ini, dimasa
mendatang harus lebih luas dari generasi yang ada sekarang. Semakin banyak buku
yang ditulis, fasilitas semakin mudah didapat.
Salah satu hal
yang tidak bisa dipungkiri dan telah mengalahkan kita, dengan apa yang telah disediakan
untuk menjadi orang yang cerdas adalah malas. Tak lagi bisa dibantah. Ini
permasalahan universal dari berbagai orang. Alasan karena tak punya waktu
sepertinya terlalu naif untuk dijadikan dasar. Sesempit apapun itu, manusia
tidak pernah tidak untuk diberi waktu longgar dalam mempelajari suatu hal.
Saya sendiri
sadar, bahwa tingkat intelektualitas yang rendah terhadap suatu ilmu, itu murni
kesalahan saya sendiri yang tidak bisa me manage
waktu sebaik mungkin. Bukan tak punya waktu. Tapi kurang cerdas me manage waktu. Tentu ini adalah kesalahan
diri saya pribadi. Sedang berbagai hal telah disediakan untuk memperluas
wawasan kita tentang berbagai hal.
Seolah-olah
kehidupan dan pengetahuan bisa direngkuh dengan sekali kedip, instan. Ghirah kita terhadap ilmu pengetahuan
yang akan dituai apa yang telah diusahakan. Keinginan kita hanya diam tanpa
bergerak, santai dirumah, bermain, tapi kita ingin punya pengetahuan yang luas.
Hal ini adalah bagian dari mimpi yang sama sekali tidak realistis.
Manusia punya
otak potensial yang selama ini “tak terpakai maksimal”. Bahkan sekelas Einstein
pun dikatakan hanya menggunakan sekitar 5 % dari kemampuan otaknya. Dan kita?
Nol koma berapa yang kita pakai? Kita terlalu terlena dengan apa yang ada.
Seolah hidup hanya soal kenikmatan. Hidup dalam takaran individu. Tanpa harus
berfikir hal-hal yang bersifat sosial. Sekali lagi, satu hal yang tak bisa kita
pungkiri adalah, malas. Kita mendzolimi diri sendiri dengan apa yang sudah kita
lakukan terhadap otak kita. Sadarkah kita tentang kedzoliman yang kita lakukan
terhadap diri kita sendiri?
Buku bisa
dibaca di handphone, cari referensi tinggal ketik, berbagai pengetahuan di
google ada. Lantas alasan apalagi yang akan kita ajukan sebagai dalih ketika
kita tidak memiliki ilmu pengetahun dan wawasan yang luas? Kita terlalu terlena
dengan keadaan. Dan waktu yang ada kita buang dengan sia-sia tanpa tholabul ‘ilm.
“Pengorbanan
untuk sebuah cinta, tak akan pernah terasa. Sebab apa yang dilakukan semata untuk kehidupan itu sendiri.
Itu pilihan, pengorbanan pun pilihan. Dan takut tak meraihnya lantas tak pernah
melakukan sesuatu adalah bukti kepengecutan. Termasuk pengorbanan cinta pada
keilmuan
Sedang
berusaha memanfaatkan moment
Salam
Moti
Peacemaker
Saya kira Indonesia ini bakal
punya perubahan yang signifikan dalam pendidikan. Semua orang mulai sadar akan
pendidikan yang sebenarnya. Nilai luhur yang ada dalam pendidikan dan mencari
ilmu. Eh ternyata nggedabruss belaka. Generasi muda saja hanya punya
mental kucing. Kalau ada kesempatan, main colong.
solopos.com |
Kesadaran hakikat ilmu
pengetahuannya tidak dipakai. Semua orang bicara nilai dan kuantitas. Padahal sudah
tau juga juga bahwa kuantitas kita bohong besar.
Kemarin saya lihat slamet itu
nyontek dengan aneh. Ya aneh banget lah. Dia itu mahasiswa lho. Dia keponakan
Kang Arturo Barislov. Satu fam, fam Arturo. Arturo slamet. Masyaallah, semua
orang tau dia cerewetnya minta ampun. Ingat! Slamet laki-laki. Dan cerewet
identik dengan perempuan. Memang cara jalannya seperti perempuan. Tapi sepertinya
dia laki-laki tulen –huznudzon.com, ketika berada ditengah-tengah masyarakat,
entah ketika diluar itu.
Yang saya tau, dia adalah
tokoh diberbagai organisasi sekolah. Bahkan organisasi ke-Mahasiswaan. Ckckckckck...gaya
bicaranya memang pantas jadi pengatur. Penuh improvisasi, cakap dalam berucap,
pintar mengatur, kurang apa coba. Tapi kenyataannya Ujian saja nyontek,
hadah....memalukan sekali si slamet itu.
Kalau boleh suudzon dan
menarik kesimpulan. Orang-orang bangsat seperti slamet ini yang pada akhirnya
merusak bangsa. Memiliki tingakat ambisius yang sangat-sangat tinggi terhdapa
suatu hal yang mempu menjadikan dirinya puas akan hal tersebut, dengan cara
apapun. Nah kan,,,cocok atau enggak. Cocok toh! Coba saja tanya para koruptor
itu, kalau ujian dulu nyontek atau kagak. Kalau nyontek ya sudah, berarti
memang benih-benih koruptor memang jutaan di Indonesia. Termasuk slamet itu.
Ini dari cerita dul jalal,
kemarin pas ujian dia liat slamet berbuat aneh. Sebagai sosok yang diamanahi
guru untuk mengumpulkan tugas kuliah paraa mahasiswa, dia malah memperlihatkan
ketikpunyaan kemaluan. Lho...la dia melihat semua jawaban dari teman yang lain,
dicocokkan, nah lho..lakok jawabannya dihapus, diganti. Cuma punya mental
kucing. Mental kucing mahasiswa. Benih koruptor.
Generasi muda kok tidak konsekuen
terhadap apa yang dimiliki dan dimampui. La da la,,,,kalau seperti ini ya
pantaslah Indonesia porak poranda. Cara berfikirnya saja sedemikian kapitalis. Seperti
koruptor saja. Tidak puas dengan nilai yang didapt dan memang hanya itu kemampuannya.
Menghalalkan segala cara untuk menambah nilai. Koruptor kan juga gitu. Tidak puas
dengan uang yang didapat dari kerjanya. Menghalakan segala cara untuk menambah
uang lagi. Nah lho..sama toh. Bahkan terkdang nambah istri
lagi,,,bahkan..bahkan...tambah wanita lagi.
Salam
Moti Peacemaker
Siapa yang tidak sadar bahwa otak dan hati kita sangat-sangat
aktif berfikir dan merasa. Menjadi titik yang sangat baik ketika hal tersebut
diimplementasikan menjadi sebuah hal yang berfaedah. Baik untuk diri sendiri
maupun orang lain. Tentu penyampaian tersebut membutuhkan cara yang tepat. Bisa
jadi dengan cara bicara, menulis, atau bahkan dari hati ke hati.
Design by : Moti Peacemaker |
Salah satu cara terbaik dan termudah yang
bisa kita lakukan adalah menulis. Kita tidak perlu mental untuk mengemukakan
argumentasi kita seperi halnya berbicara. Dan skala penyampiannya pun mampu
lebih luas, seperti membuatnya menjadi buku, mengirimkan ke media masa atau
mempublikasikannya di blog.
Bahkan tak jarang orang yang benar-benar
menyelami seluk beluk keilmuan demi membaiknya kehidupan diri sendiri dan
kebanyakan manusia. Dan kita mengenal banyak penulis yang memiliki wawasan
sangat luas dalam hal keilmuan. Etos kepenulisan orang-orang yag produktif
dalam menulis dan memberi wawasan pada orang yang lain yang sangat patut untuk
dijadikan panutan. Seperti Asma Nadia, Habiburrahman El-shirazy, Raditya Dika,
Andrea Hirata dan berbagai penulis lain yang mendedikasikan hidup mereka untuk
menulis dan kepentingan banyak orang.
Dari golongan Shalafunasshalih, Beliau-beliau
mendedikasikan kehidupan mereka untuk kepentingan umat dan bahkan sangat
produktif dalam menulis buku. Bahkan ulama-ulama saat ini pun juga sangat
produktif dalam menulis buku. Saya membaca deretan buku-buku mereka yang sangat
banyak sekali. Bahkan buku-buku dari para shalafunassholih yang sudah meluncur
dari belasan bahkan puluhan abad yang lalu pun sampai saat ini masih beredar
dan dibaca oleh jutaan manusia.
Saya terkdang heran dengan mereka yang mampu
menulis puluhan bahkan ratusan buku ditengah himpitan waktu dan aktifitas beliau-beliau
yang tentu saja juga sangat padat. Bagaimana waktu mereka dalam menulis yang
tentu terdapat dalam sesak himpitan waktu aktifitas masih mampu terakomodir
dengan sedemikian rupa dan tetap mampu menciptakan karya yang luar biasa.
Apa rahasia dibalik etos kepenulisan mereka
yang sedemikian hebat. Tentu tekad mereka dalam menulis sangat luar biasa.
Bukan sebuah mimpi apabila kita ingin seperti mereka. Namun juga harus menekan
kemalasan kita dalam menulis hingga sedemikian rupa. Apalagi untuk penulis yang
masih dalam tahap awal. Biasanya sering diselimuti kebosanan dalam menulis. Hal
ini harus terus diperangi demi terciptanya sebuah etos kepenulisan yang
menggebu-nggebu seperti para penulis yang terlah menciptakan sebuah karya yang
dipersembahkan untuk berbagai kalangan.
Ayahanda dari K.H. Ahmad Musthofa bisri (Gus
Mus) melakukan siasat yang luar biasa ketika menulis buku. Beliau bertutur
kepada seorang kiai yang berdiskusi dengan beliau.
“saya kok mudah bosan ya kalau menyusun
kitab?” tanya kiai tersebut pada K.H. Bisri Musthofa. Ayahanda dari Gus Mus.
“jenengan (kamu) niatnya menulis karena
Allah, sih!” jawab K.H. Bisri Musthofa
“lho, memangnya harus bagaimana? Bukankah
kita melakukan segala sesuatu harus karena Allah?” tanya Kiai itu kaget.
“kalau saya menyusun kitab, tidak saya niati
karena Allah. Tapi saya niati mencari uang. Nah, pas mengirim ke penerbit. Baru
saya niati mencari Ridhlo Allah. Sebab, kalau dari awal kita niat karena Allah.
Kita akan terus digoda oleh syetan dan menghilangkan semangat kita dalam
menulis karena Allah tersebut. Tapi ketika di awal kita niati untuk mencari hal
yang dianggap sebagai hal yang tidak bersifat ibadah. Maka syetan merasa aman
dengan apa yang kita kerjakan dan dogaan pun semakin ringan. Syetan juga perlu ditipu”
Masyaallah. Alangkah luar biasanya para ulama
dan penulis yang bahkan tidak hanya etos kerja yang kedepankan demi terciptanya
sebuah karya yang bermanfaat, bahkan sampai menggunakan siasasat yang dapat
memperlancar kepenulisan yang digeluti.
Alangkah mulia orang yang dapat memberi
manfaat bagi orang lain, lewat ucapan, tulisan dan hal-hal yang mampu
menjadikan orang lain sebagai manusia yang sukses dunia akhirat. Dan mampu
memberikan efek positif pada yang lain.
“hidup memang
sementara
Tapi karya
selamanya”
Iwan Fals
Salam
Masyaallah
Wajah-wajah
murung itu semakin terkurung
Terkepung
dalam bayangan
Termenung
dalam kekalahan
Bahkan
sebelum perang digalakkan
Saya masih tidak habis pikir dengan orang-orang yang bingung dengan
Ujian Nasional dengan fenomena TIDAK LULUS yang dianggap menakutkan. Bahkan ada
yang rela dengan cara curang membodohi diri sendiri. Kita coba berfikir dengan
kelogisan dan perasaan yang netral tanpa kontaminasi apapun. Dan apa yang
DITKUTKAN dalam UN itu sebenarnya tidak patut sama sekali untuk ditakuti.
Coba kita telaah sedikit tentang ketakutan yang hadir itu tidak berguna
sama sekali. Orang yang takut dengan UN itu orang-orang yang tidak menatap masa
depan dengan kamampuan. Masyarakat kita terlalu over dalam menanggapi UN. Dan kebingungan
pada UN yang over itu menjadi fenomana yang sangat konyol dari berbagai
fenomena-fenomena konyol lainnya yang ada di Indonesia.
UN BUKTI SEKOLAH BELUM BERKUALITAS
Ketakutan dan kegelisahan yang ada ini sebagai bukti bahwa pendidkan
selama ini belum berkualitas. Saya masih sangat tidak habis pikir dengan UN
yang ditakuti. Dan setiap tahun terus saja terjadi. Kalau Indoneisa cerdas,
harusnya fenomena UN itu hanya dibingungi saat pertama kali UN diresmikan
menjadi penentu kelulusan. Sebab kalau difikir, kita sama sekali tidak belajar
dari pengalaman. Bagaimana tidak, UN itu terjadi setiap tahun. Seumpama
sekarang bingung soal UN, tahun depan harusnya tidak lagi bingung. Bagaimana
ingin bingung, lawong sudah belajar dari pengalaman. Sebab hadirnya
kebingungan itu bukankah karena masih kurang persiapan untuk UN? Karena
persiapan sudah matang, lantas apa yang dibingungkan? Dan kalau tahun ini tidak
siap, masak tahun depan masih tidak siap. Minimal kegelisahan pada UN
semakin berkurang bahkan lenyap.
Kalau kegelisahan UN setiap tahun terus ada bahkan semakin parah. Maka
bisa kita curigai atau bahkan kita simpulkan bahwa sekolah tidak memberikan
kualitas pada pendidikan Indonesia. Kalau berkualitas, tidak akan pernah ada
kegelisahan dari berbagai sektor dan UN tidak akan jadi fenomena seramai ini.
Jangan memperlihatkan betapa lemahnya kita sebagai sebuah bangsa. Ujian itu
biasa. Dan TIDAK LULUS pun juga fenomena biasa. Kok jadi fenomena itu apa yang
tidak biasa dari UN. Mereka yang takut UN lah yang menakut-nakuti diri mereka
sendiri. Dan ketakutan tersebut adalah ketakutan yang sangat tidak fear.
Maka kesempatan seperti ini yang seharusnya menjadi saat dan waktu yang
tepat untuk memulai sebuah perubahan dan perbaikan dalam pendidikan Indonesia.
Kalau pendidikan yang jadi titik sentral formal dalam mencerdaskan bangsa terus
saja dibodohi, bagaimana kecedasan itu bisa hadir. Dan kecerdasan yang diraih
pun hanya kecerdasan kebohongan yang pada akhirnya akan terungkap dengan apa
yang diraih tanpa bisa dikontaminasi. Kalau memang merasa belum bisa dan belum
pantas lulus ya jangan lulus. Kalau tidak niat untuk cari ilmu di sekolah dan
tidak ingin dites pantas atau tidak pantas lulus ya tidak usah sekolah. Kalau niat
sekolah ya hadapi UN yang ditetapkan pemerintah sebagai cara untuk keluar dari
sekolah dengan terhormat dan benar-benar berhasil menyelesaikan studi
pendidikan formal.
Harapan orang-orang yang bingung dengan UN dan lantas memilih jalan
pintas itu adalah harapan bodoh. Ini juga dampak dari kehidupan bangsa yang
terlalu memuja keinstanan. Istilahnya, Tidak punya uang minta barang. Itu kan
juga secara kelogisan hidup juga tidak sampai. Lulus kan sebab bisa, kalau tidak
bisa ya tidak usah lulus. Soal apa yang diteskan itu kan hak pemerintah. Kalau
pemerintah sebagai badan yang punya kewenangan sudah memutuskan apapun,
kewajian peljar itu menghadapi. Kewajiban pelajar itu melaksanakan tes. Dan
sebab jiwa pemberani dan memang sudah merasa memiliki bekal. Maka HADAPI UJIAN
DENGAN KEJUJURAN.
Salam
Demi
meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia, Pemerintah menyediakan sebuah
kesempatan untuk warga tidak mampu agar tetap menikmati pendidikan di negeri
sendiri. Keringanan beban pada dunia pendidikan diberikan demi terciptanya
sumber daya manusia yang mumpuni.
SD dan SMP
(Sederajat) kini sudah dibebaskan dari tagihan bulanan (SPP). Juga ada bantuan
operasional sekolah sebagai penunjang pendidikan. Ini menjadi titik terang bagi
kaum tidak mampu untuk terus mengais ilmu dan pendidikan untuk masa depan. Masa
depan pribadi maupun masa depan bangsa. Re-generasi pasti terjadi. Dan adanya
pematangan generasi baru adalah sinar kemenangan dalam kemakmuran bangsa.
Dan mungkin
ini pula yang membuat pemerintah jeli untuk memanfaatkan peluang kemakmuran
bangsa dimasa mendatang. Dengan dibuatnya beasiswa kuliah diperguruan tinggi
negeri melalui Bidik Misi. Ada sebuah keinginan dan greget luhur untuk
meningkatknya kualitas daya pikir dan sumber daya manusia yang ada di
Indonesia.
Bukan hanya soal
pendidikan untuk bangsa. Ini juga memberikan cahaya cerah untuk kalangan
ekonomi menengah ke bawah. Biaya kuliah yang tidak murah membuat kaum miskin menyekat
diri untuk masuk ke jenjang kulaih. Kebutuhan hidup yang sudah menghimpit tidak
mungkin ditambahi dengan keinginan dan lahirnya keperluan baru untuk di
tanggung.
Akan tetapi
sisi lain, sebuah keinginan untuk memperbaiki keadaan pun tak pernah hilang.
Dan jawaban yang menjadi titik cahaya paling cerah saat ini adalah dengan kuliah
dan mengambil resiko keuangan. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya
berada dalam keadaan buruk, bahkan lebih buruk dari mereka. Saat itulah orang
tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Dan memberikan peluang untuk
meraih cahaya kesuksasan. Meski toh sangat disadari akan ketidakpastian
sebuah kesuksesan. Paling tidak, ada sebuah cahaya yang sudah diusahakan untuik
hadir.
Dan
kebahagiaan itu benar-benar muncul ketika pemerintah menghadirkan kebijakan
untuk memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi yang tidak mampu. Mereka
memberi istilah bidik misi. Bisa dibilang, ini kado bagi kaum tidak berada.
Pendaftaran
dilakukan secara online dengan berbagai persyaratan yang diberikan. Awalnya
semua berjalan dengan baik. Tapi diakhir pendaftaran, ada sebuah hal yang
sangat menganggu kenyamanan para pendaftar. Yang pertama adalah server. Yang
kedua adalah in-konsistensi.
Ada lebih dari
2500 yang komplain tentang server yang sering error dan lambatnya luar biasa.
Ini menjadi kendala yang sangat besar mengingat waktu yang ada semakin mepet
dengan deadline yang diberikan. Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Disamping
membuang waktu, hal ini juga kekerasan sebab waktu yang dibrikan juga semakin
mepet. Toh juga tidak mungkin terus menunggu didepan komputer karena
kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal.
Dan
in-konsistensi ini yang lebih ”memuakkan”. Bagaimana tidak. Dikatakan dalam
pengumuman bidik misi bahwa pendaftaran diundur dari 8 maret sampai 11 maret
2013. Tapi kenyataannya, belum juga berakhir tanggal 11 maret 2013. Pendaftaran
sudah mengindikasikan in-konsistensi yang memuakkan tersebut. Ketika membuka
pertama kali pada kolom pendaftaran snmptn di bidik misi tertulis bahwa
pendaftaran sudah ditutup. Akan tetapi karena penasaran dan mungkin saja ada
yang salah. Saya pun membuka laman itu kembali meski dengan loading yang sangat
lambat. Dan hasilnya wow. Disitu
tertulis bahwa pendaftaran belum dibuka. Saya pun harus tercengang dengan
fenomena ini. Saya semakin penasaran dan mencoba membuka ulang laman
tersebut.dan hasilnya, tertulis kembali pendaftaran sudah ditutup. Hal ini
tentu sangat memangkelkan.
Kita seperti di permainkan dengan berbagai permasalahan yang pada akhirnya bisa
saja akan banyak yang gagal daftar seleksi snmptn di bagian terakhir. Kalau memang
niat diperpanjang, harusnya layanan tetap diberikan yang terbaiki. Kalau menang
ujung-ujungnya hanya seperti itu, perpanjangan adalah sia-sia. Bukan hanya
sia-sia, tapi maen-maen saja.
Apa karena
snmptn itu gratis dan untuk orang-orang miskin, maka pelayanan yang diberikan
kan pun ala kadarnya. Bahkan terkesan mempermainkan. Salam
Kerinduan itu mencuat
Dan air mata tak lagi mampu tersekat
Kebersamaan untuk wujudkan mimpi
Menikmati tamparan kenyataan bergandengan
Masih lekat senyum dan tawa kita
Ide, rumusan, gagasan yang bahkan???
Aku ingin kembali pada waktu itu
Ketidak sadaran akan nilai yang tertuang
Kini senyumkan diri sendiri
Langkah yang besarkan kita pada alternatif
Pekatkan sudut pandang sempit
Dalam kebersamaan itu
Jati diri layangkan kita pada titiknya
Waskita!
Dan air mata tak lagi mampu tersekat
Kebersamaan untuk wujudkan mimpi
Menikmati tamparan kenyataan bergandengan
Masih lekat senyum dan tawa kita
Ide, rumusan, gagasan yang bahkan???
Aku ingin kembali pada waktu itu
Ketidak sadaran akan nilai yang tertuang
Kini senyumkan diri sendiri
Langkah yang besarkan kita pada alternatif
Pekatkan sudut pandang sempit
Dalam kebersamaan itu
Jati diri layangkan kita pada titiknya
Waskita!
Waskita adalah sebuah komunitas belajar yang beranggotakan remaja-remaja yang mencoba dan menginkan sebuah alternatif dalam pendidikan. Beberapa hal digagas untuk sebuah kemajuan komunitas tersebut. Tidak menggunakan sistem baku dalam pendidikan formal. Meski tentu saja masih ada beberapa yang dipertahankan. Sebuah proses filterisasi untuk mencari metode yang terbaik dalam menumbuh kembangkan potensi yang dimiliki.
المحا فظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلاح
(Melestarikan nilai-nilai lama yang postif, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik)
Bukan berarti ini sikap tidak patuh pada pemerintah yang notabenenya menetapkan pendidikan sekolah sebagai pendidikan formal Indonesia yang menghimbau para warganya untuk belajar 9 tahun di dalamnya. Ini hanya sebuah cara untuk memberikan sebuah opsi untuk para pencari ilmu dalam menentukan mana yang menurutnya paling cocok untuk minat dan potensi yang dimiliki. Sebab tidak semua orang sreg dengan sekolah. Seperti halnya tidak semua orang suka dengan gethuk.
Kunjungan belajar ke Qoryah Toyyibah 2 tahun yang lalu |
Sebab itulah yang mendasari kita (Anggota Waskita) untuk membuat sebuah komunitas yang digerakkan dengan cara sendiri dari hasil diskusi dan pencarian secara mandiri. Hal ini akan membuat nilai keinginan untuk mengetahui sesuatu benar-benar mengalir dan hadir dalam kasadaran. Sebab yang selama ini sering menjadi problem banyak anak dalam dunia pendidikan adalah soal pilihan. Kesadaran dan keingintahuan dalam pendidikan formal seolah-seolah mudah luntur sebab tak jarang bertentangan dengan apa yang sebenernya dicari. Sebab wadah yang diberikan sekolah formal sungguh sangat terbatas untuk mewadahi jutaan keinginan, sedang sistem yang digunakan adalah sistem baku. Dalam artian, segala hal yang berhubungan dengan murid ditentukan oleh pihak pusat dengan beberapa materi pelajaran yang diberikan.
Suasana Diskusi di Depan Gedung Waskita |
Akan tetapi pada akhirnya saya pun berfikir bahwa, ini pemikiran konstektual dan saya tidak boleh dengan semena-mena serta serampangan menggunakannya untuk semua orang pula. Toh pada dasarnya, semua ini wujud pemikiran yang pada intinya juga ingin menyadarkan bahwa ada milyaran keberagaman di negeri kita. Juga soal pendidikan. Bila saya kurang suka dengan pendidikan formal. Hal itu pula yang mendasari bahwa tidak pula saya memaksa orang lain untuk suka dengan apa yang saya pikirkan. Ini sebuah pilihan dimana tidak akan pernah sama dan tidak menghadirkan problematika, selagi semua berfikir jernih dan saling membantu untuk kebaikan bersama.
Dan inilah yang melahirkan Komunitas Belajar Waskita serta menjadi opsi bagi pendidikan. Pendidikan didalam waskita menekankan kecintaan pada ilmu untuk kemudian dengan sendirinya menghadirkan rasa penasaran dan kesadaran akan ilmu pengetahuan. Dari situlah hadir sebuah keinginan untuk benar-benar mencari ilmu.
Belajar bersama (Depan Rumah Saya) |
Dan yang paling dirindukan adalah kebersamaan. Sebab tidak ada pengajar sebagai tranfers ilmu. Yang dalam hal ini, waskita hanya punya fasilitator sebagai jembatan yang mempermudah hal-hal yang perlu dan dibutuhkan. Maka keaktifan dalam belajar pun sepenuhnya diberikan kepada murid. Saat itulah murid harus dituntut untuk benar-benar kompeten dan serius dalam mencari ilmu. Sebab tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali bekerja keras untuk mencari ilmu dan dikemudian hari dapat bermanfaat bagi orang banyak. Sedang kami tidak mungkin mengandalkan ijasah sebagai obat mujarab masa depan seperti yang lain. Kerja optimal adalah jawaban untuk mengisi lubang ketikpunyaan kami pada ijasah.
Belajar di Alam Terbuka |
Kebersamaan itu lahir sebab kita sadar akan kekuarangan yang kami miliki dari tiap-tiap individu. Dan kebersamaan itu pula yang membuat kita mengerti satu sama lain. Sharing apa yang kita pikirkan. Apapun itu. Bisa jadi opini, berita, atau perasaan yang sedang bergejolak. Lalu ditanggapi oleh yang lain dengan memberi saran atau tambahan agar menjadi sebuah nilai ilmu. istilahnya adalah diskusi. Tranfers ilmu antar sesama. Bila diruntut, ini bisa jadi dikatakan cakru’an, majlis, musyawarah, atau kata-kata lain yang mendeskripsikan kebersamaan kita. Dan kini kerinduan itu muncul. Rindu sebuah kebersamaan dalam perbedaan.
Baru beberapa
waktu saya ingin menulis sebuah esai tentang pendidikan Indonesia. Dan kejadian kemarin semakin membuat saya semangat
untuk mengurai tentang dunia pendidikan. Ada sebuah hal yang membuat saya harus
tercengang dengan hal miris yang terjadi kemarin. Saya tidak hanya melihat.
Tapi mengalaminya langsung. Benci? tidak. Tapi soal tidak terima, itu pasti.
Sebelum ini,
saya hampir care dengan pendidikan sebab ideologi yang disampaikan oleh
beberapa guru yang tepat dengan apa yang saya pikirkan. Guru bahasa Indonesia
dan biologi pernah mengatakan bahwa seorang guru tidak harus hanya mengerti
satu mata pendidikan saja. Seperti Buku
yang pernah saya baca pula (Sekolahnya Manusia). Dalam mengajarkan pun guru
yang diperkenankan untuk memberikan ilmu diluar bidang palajaran yang harusnya
diajarkan. Dengan kata lain, memiliki pemikiran yang luas. Dan yang menjadi
pertimbangan adalah, sebab pada saatnya nanti siswa juga tidak akan hanya berkutat
pada satu materi saja.
Guru bahasa
Indonesia sering pula memberikan ilmu tentang agama. Dan setelah itu pula,
beliau sering mengingatkan bahwa “Seorang guru itu tidak boleh monoton. Kalau
soal mengajar, itu bukan soal yang sangat sulit. Tapi yang sulit adalah
membimbing. Dan apa yang saya sampaikan tadi adalah salah satu cara yang
meskipun tidak kadarnya mungkin tidak efektif. Tapi hal tersebut menjadi titik
kecil bimbingan untuk kalian semua”.
Begitu pula
dengan guru biologi yang bahkan sangat perhatian dengan keadaan murid. Bukan
hanya soal pelajaran, akan tetapi juga soal psikologi dan tindakan yang tak
luput dari perhatian beliau. Saya pernah dipanggil beliau secara khusus untuk
berbicara empat mata. Beliau memberikan kritik dan saran yang untuk saya dengan
sangat luar biasa. Hampir disetiap pertemuan, beliau memberikan petuah dengan
maksud yang saya kira untuk mengecek keadaan pikiran anak-anak. Bahkan pernah,
beliau tidak memberikan materi sama sekali dan mengisinya untuk sharing
tentang-tentang uneg-uneg apapun yang ada di otak anak-anak dengan
menulis dan disetorkan kepada beliau.
Bahkan guru
saya tercinta, saat mengaji kitab-kitab agama pun sering memberikan petuah
diluar materi kitab yang diajarkan. Pendidikan, kesehatan, sosial, masih banyak
lagi. Ini sebuah ransangan untuk anak didik berfikir luas dan tidak
terkotak-kotak oleh pikiran sendiri. Apa profesional itu harus dalam satu
bidang? Apakah harus? Apa harus? Harus? Tidak!!!!!!
Apakah mereka
menyalahi job deskription sebagai seorang pengajar? Sangat tidak. Guru bersifat
memfasilitasi dan merangsang pemikiran serta kreativitas anak didik. Membatasi lompatan
pemikiran anak didik adalah kesalahan besar. Sedang pada masa itu mereka
mencari jati diri. Dan disinilah yang membuat saya tidak setuju dengan metode
sekolah yang selama ini dipakai. Yaitu sistem pasif. Seolah-olah guru adalah pusat
dan satunya-satunya kuci dari kegiatan belajar mengajar. sedang kenyataan yang
harus diterima seharusnya adalah murid menjadi titik pusat pendidikan.
Dan kejadian
kemarin adalah “penodaan” hak saya sebagai siswa. Apa yang terjadi
kemarin menjadi sebuh pelajaran besar bagi saya. Yang mana disitu terdapat
sebuah judge yang timpang. Bukan hanya terjadi pada saya saja, tapi juga
teman yang lain. Judge yang hanya didasari oleh satu hal yang seharusnya tidak
bisa dijadikan landasan. Ketiadaan identifikasi secara jelas membuat judge
ini sama sekali tidak memiliki kebenaran yang akurat.
Job
deskription hanya untuk satu bidang dan menyingkirkan bidang lain dalam
kegiatan belajar mengajar? Sedang bahkan sebenernya kemarin saya sama sekali
tidak melenceng dari pelajaran dan tetap pada lajur materi yang disampaikan
saat itu. Hanya ketidak punyaan dan ketikmengertian guru kemarin pada toleransi,
kaidah belajar mengajar, kaidah diskusi, dan yang pasti, sangat pasti,
kesabaran yang rendah.
“Saya bukan bicara tanpa fakta. Dalam tulisan
lain.
Saya
menguarai kejadian yang kemarin.
Dan
bisa ditelaah sendiri. Apa yang terjadi kemarin”
SAYA
MENGGUGAT
Salam.
Moti
Peacemaker
“Silahkan
pemuda berfikir paling gila sekalipun.
Tapi
jangan pernah berhenti belajar”
A.
Musthofa Bisri
Berdiri karena
sebuah keresahan dalam dunia pendidikan. Lahirlah sebuah lembaga pendidikan Waskita.
Pada rencana awal, lembaga yang berkecimpung di area pendidikan ini akan menggunakan
kurikulum seperti SMK. Dan sebuah sponsor besar telah siap mendanai seluruh
kebutuhan dari lembaga ini. Namun sebelum sebelum persiapan penggunaan sistem
seperti SMK rampung, Muncul gagasan baru untuk membentuk Waskita dengan metode
pembelajaran seperti halnya Qoryah Thayyibah Kalibening, Tingkir, Salatiga. Dan
sponsor demi sponsor yang sebelumnya siap mendanai kegiatan belajar Waskita pun
satu persatu mulai mundur. Karena tidak adanya ijasah sebagai bukti kelulusan.
Setelah
diputuskan menjadi sebuah lembaga yang berorientasi mirip dengan Qoryah
Thoyyibah. Maka Waskita pun menggunakan Komunitas belajar sebagai ganti
penggunaan sistem SMK yang pada akhirnya dianggap kurang cocok. Pertengahan
awal 2010 menjadi tahun berdirinya Komunitas Belajar Waskita Islamiyah.
Pelopor dari
berdirinya Komunitas ini adalah Ust. Mahsun Maftuhin selaku Pengasuh pondok
pesantren (nDalem Ksatrian) Al-Ibadah, Ilyas Wahab (DPRD Tuban 2004 dari FKB),
beserta para tokoh Masyarakat desa Kedungjambe, Singgahan, Tuban.
KomunitasWaskita berdiri sebagai lompatan baru dunia pendidikan. Tidak untuk
menenggelamkan sistem pendidikan lain. Hanya membuka jendela sistem baru
sebagai alternatif pendidikan yang ada di Indonesia. Kalau ada yang beranggapan
Waskita berdiri untuk menggilas ataupun meremehkan sistem lain (menurut saya)
adalah salah. Meskipun beberapa anggota Waskita sendiri ada juga berpersepsi
seperti itu. Sekali lagi hanya sebagai sistem baru. Dan tidak ada sedikitpun
hak untuk meremehkan sistem pendidikan formal yang yang telah ada.
Buktinya adalah
dengan dibebaskannya setiap anggota yang telah tergabung di Waskita untuk tetap
berada di sekolah formal. Karena dasar dari Waskita sendiri adalah sebagai
sebuah wadah pengembangan bakat. Dan tak jarang belajar dengan cara otodidak.
Dalam belajar,
Waskita tidak memandang ketetapan kurikulum. Kalaupun dipaksa harus menjawab
Waskita menggunakan orientasi apa dalam belajar ? Maka, jawabannya adalah
kurikulum kebutuhan. Anggota satu dengan yang lain di komunitas tidak harus
sama dalam menentukan apa yang akan dipelajari. Boleh tiap-tiap anggota mencari
kesibukan sendiri-sendiri untuk mendapatkan ilmu yang memang diinginkan dan
menurutnya dibutuhkan.
Bahkan mereka
bisa mencari partner belajar, atau guru dari luar Waskita. Dan itu lebih baik.
Sebagai bukti bahwa anggota benar-benar memiliki keseriusan dalam mengembangkan
bakat dan memperluas pengetahuan.
Meskipun
anggota diberikan kebebasan dalam komunitas ini. Namun harus tetap ada kontrol tentang
sikap dan hasil dari kebebasan yang diberikan. Dan perwujudan dari hal
tersebut, waskita pun membuat jadwal pada hari tertentu untuk dijadikan laporan
pertanggungjawaban atas waktu luang yang diberikan. Yaitu pengumpulan hasil
belajar dengan sistem kebebasan dalam bentuk sebuah karya atau gagasan sebagai
bukti bahwa kebebasan dalam belajar yang diterapkan telah berhasil. Kalau ada
anggota yang belum mengumpulkan karya atau gagasan (Ide), maka anggota tersebut
dianggap punya hutang dan harus dilunasi dikemudian hari.
Dari penerapan pengumpulan
karya dan gagasan atas apa yang dipelajari inilah muncul beberapa orang yang
pada akhirnya mulai menemukan jati dirinya sendiri. Salah satunya adalah Fathoni
yang merasa harus membuat karya sebagai tanggungjawabnya atas kewajiban yang
telah ditentukan oleh Komunitas Belajar Waskita. Yang pada akhirnya membuatnya
menjadi seorang penyair di Waskita. Dan mendapat gelar “Master Of Love Poetry”.
Juga beberapa anggota lain seperti Mahfudz Wahudiansyah yang saat ini telah
menulis sekitar 6 buku dalam berbagai bentuk dalam 2 tahun pengabdiannya
sebagai anggota komunitas belajar waskita. Juga Thomis Fitan yang bahkan kini
didapuk sebagai desainer diberbagai orang, bahkan sebuah organisasi atau
lembaga.
Komunitas ini
sangat menekankan kebersamaan untuk berbagi ilmu. Sharing tentang banyak hal
yang siapa tahu nantinya akan bermanfaat bagi masa depan. Dan
kebersamaan itulah yang pada akhirnya menggiring sebuah ide muncul sebab
rangsangan yang muncul dari sebuah diskusi yang dilaksanakan.
Pada dasarnya
memang Komunitas ini bukan Komunitas baku. Boleh menggunakan sistem apapun
sebagai penunjang kualitas belajar. Maka, kalau tidak ada kumpulan anak yang
belajar seperti halnya yang biasa terjadi di sekolah formal, itu adalah hal
yang wajar. Karena anggota waskita mayoritas mencari kesibukan untuk meraih
ilmu tidak hanya di gedung Waskita yang relatif kecil. Mereka lebih banyak
keluar untuk mencari hal-hal baru yang perlu diketahui. Dan memang, Waskita
sangat cocok untuk seseorang yang aktif dan haus akan ilmu pengetahuan karena kebebasan
belajar yang diberikan.
Setelah ujian
selesai seperti saat ini. Banyak lulusan dari berbagai sekolah yang mulai
mencari tempat berlabuh untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari SD menuju SMP, dan dari SMP menuju SMA. Sekolah unggulan atau sekolah
favorit pun menjadi serbuan banyak kalangan yang menginginkan penyaluran
pendidikan yang dianggap paling baik. Dan tak perlu heran dengan banyak antrian
siswa baru yang berharap namanya masuk dalam daftar nama yang diterima sebagai
siswa sekolah seutuhnya. Bahkan ada yang rela menggunakan “uang pelicin” untuk
bisa menembus sekolah yang diinginkan.
Dari sekolah,
banyak orang berharap. Dari sekolah, banyak orang bermimpi dan dari sekolah
pula, banyak orang gagal. This is reality. Dan anda bisa melihatnya dari
berbagai sudut ke berbagai sudut.
Lantas,
bagaimana bisa sekolah disebut sebagai candu. Sebelum dibahas secara mendalam,
saya ingin mengingatkan bahwa Kata lain dari candu dalam bahasa indonesia
adalah ketergantungan. Hal ini harus terus diingat dalam membaca tulisan ini.
Moti Peacemaker
Moti Peacemaker
Blog Personal
Blog ini telah mulai berdiri sejak 2010. Pernah mengalami masa jaya, meski tidak lama. Tahun 2016 menjadi titik awal turunnya blog ini ke titik terendah. Sampai tahun ini, blog ini masih berusaha bangkit kembali dengan ala kadarnya. Semoga bisa merengkuh kembali masa-masa produktif mengisi blog ini