Orang Jawa punya istilah fase-fase
kehidupan dalam berbagai nama. Mulai dari maskumambang, mijil, sinom, kinanthi,
asmaradhana, gambuh, dandang gula, durma, pangkur, megatruh, pucung. Fase
anak-anak masuk pada sinom, fase di mana manusia berkembang dan mengenal
hal-hal baru. Sebab setelah itu, manusia melangkah menuju fase kinanthi, fase
pencarian jati diri dan berusaha menggapai cita-cita.
Masa-masa kanak sendiri merupakan fase
yang istimewa. Agaknya pada masa ini, kita lebih didorong oleh naluri dan
tuntutan keinginan daripada dorongan akal. Tidak heran apabila kadang kita
melakukan hal-hal yang kita merasa luar biasa ketika itu, tapi ternyata begitu
konyol di masa depan.
Tapi itu juga yang membuatnya menjadi
istimewa sebab segala sesuatu tidak digerakkan oleh akal secara sempurna.
Memang fase-fase anak kecil seumuran TK dan SD merupakan terusan dari fase bayi
yang begitu kuat dalam hal dorongan naluri. Bukankah bayi juga menyusu pada
ibunya bukan karena akalnya yang menggerakkan untuk mengisi nutrisi, tapi
nalurinya lah yang menggerakkannya. Kemudian fase umur TK dan SD menjadi fase
perubahan penggunaan akal secara utuh yang belum sempurna.
Saya sendiri sepertinya menjadi tidak
putih (menghindari penggunaan kata hitam) seperti sekarang juga sebab dorongan
naluri yang terlalu dominan. La bagaimana, mandi di kali, mainan juga tak
pernah tidak tersengat matahari. Itupun dilakukan dengan bahagia dan tidak bisa
dihentikan. Ma'e sudah berulang kali melarang, tapi ya apa daya. Kali dan
matahari tetap jadi teman setia.
Sama sekali tidak terpikir kalau saya
banyak main di kali dan disengat matahari, nanti kulit jadi hitam dan kusam,
mengurangi tingkat kegantengan dan segala yang berhubungan dengan degradasi
penampilan. Tak ada sama sekali pikiran futuristik semacam itu. Juga pada
hal-hal lain yang ketika itu saya merasa sangat keren, tapi menjadi begitu lucu
ketika saya mengingatnya sekarang.
Misalnya penampilan rambut ala David
Beckham yang sempat tenar. Alih-alih seperti rambut Beckham, baru-baru ini saya
malah lebih merasa bahwa dengan gaya rambut semacam itu dan dipadu dengan warna
kulit yang tidak putih, rupa saya malah lebih ke arah Kipli “kiamat sudah
dekat” daripada David Beckham.
Juga perilaku yang sok menangan dalam
berkelahi. Kala itu, saya seperti menjadi anak yang hebat sebab begitu berani
dalam hal baku hantam. Bahkan kalau ada teman yang mengadu dikerjain oleh anak
lain, saya siap datang dengan penuh amarah seolah harga diri saya ikut
diinjak-injak. Segila itu! Sesuatu yang sungguh tidak saya sama sekali di masa
kini.
Saya kemudian menyadari bahwa fase-fase
keren di masa lalu itu lebih didorong oleh keinginan dan kerja naluri daripada
kerja akal. Kendali akal belum secara utuh dan tidak bekerja secara dominan.
Itu yang membuat apa yang dilakukan di masa kecil jelas berbeda dengan tindakan
di masa dewasa. Sebab akal sudah mulai dominan dan menguasai.
Kalau ada orang dewasa yang masih
mengikuti keinginan secara berlebihan dan memenuhi naluri tanpa dibatasi serta
dikendalikan oleh akal, berarti dia anak kecil. Kalau orang tua yang ramai di gadung
yang mewah, berkerja hanya dengan tuntutan keinginan, memutuskan tidak dengan
akal, bertengkar mewakili entah apa, barangkali ia anak TK.