“cung, cung, ojo durung adus.”
Kau dengar makmu, le? Apa katanya? Jangan dulu
mandi! Kau tau apa alasanya? Alamaaak, jangan terlalu lugu begitu toh,
le! Lihatlah, apa yang dilakukan emakmu setelah itu. Lihat dandanannya,
menor begitu. Istighfar, le, le. Istighfar sampai mulutmu berbusa.
Mbahmu dulu tak pernah seperti itu. Kalaupun ingin
keluar pun dandanannya biasa saja. Tidak lantas barang berharga semua dibawa
sebagai hiasan seperti emakmu begitu. Apa karena mbah ndak punya berhiasan? Jangan
tanya itu! Mbahmu dulu adalah juragan sawah yang kaya raya. Tak ada yang
mengalahkan mbahmu. Tapi mbahmu tetap arif dan bisa menjaga sikap. Dengan
orang-orang sekitar pun tetap sumeh.
Dan bapakmu sebagai anak embahmu yang pertama
menikah dengan ibumu yang....yang....pelan-pelan ya,,,katanya njengges
bapakmu.
Lho..lho..kamu ndak tau apa itu jengges?
Astaghfirullah, le, le. Itu ilmu pengasihan jawa. Jangan-jangan kamu ketularan
ibumu yang lupa rumahnya sendiri. Lupa budaya dan adatnya.
Jangan seperti itu. Kita punya peradaban yang
hebatnya tak karuan. Keagungan peradaban dan kebudayaan kita tak ada yang
mengalahkan. Adakah yang mengalahkan cita rasa dan beragamnya kebudayaan kita
sebagai sebuah bangsa dengan ribuan juta penduduk dan pulau yang melahirkan
provinsi-provinsi dengan cita rasa budaya yang berbeda?
Jangan merendah dengan budaya “rumah” orang lain,
meskipun lebih terkenal dan dicap international. Satu lagi, jangan pernah
terseret arus kultur yang diusung dari rumah orang lain ke dalam rumah kita.
Biarkan ia hidup di rumahnya sendiri. Jangan bawa ke rumahmu sebagai rumah yang sudah punya tata cara kehidupan yang melekat dan berpatri sejak berpuluh-puluh,
bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.
Jangan seperti emakmu yang kini sudah tak lagi
punya ciri khas budayanya. Modernisasi katanya. Cuih, apa itu
modernisasi. Modernisasi adalah percobaan kehidupan yang suata saat akan menganggap bahwa kehidupan modern adalah yang kembali pada tata kehidupan tradisional.
Lihat emakmu yang menyelamu mandi. Dan kini
berdandan menor dengan tas harga 1,3 juta yang dibeli di Singapura. Perlu kau tahu, nak. Tas itu sesungguhnya adalah tas buatan Sidoarjo yang dijual 200 ribu. Tas tanpa label
itu diberi cap brand international yang menjadikan harganya melonjak tajam ketika sampai di Singapura. Lihat,
lihat, kemana emakmu akan pergi. Arisan, le! Arisan! Sambil pamer perhiasan! Tahu kau apa yang dipertaruhkan? Tau kau? Tau kau? Mereka mempertaruhkan rasa
malu jika kalah harga. Mempertaruhakan dendam demi gengsi modernisasi yang
telah meracuni nalar pikir kita sebagai orang timur yang luhur punya kerendahan
hati tinggi.
Orang mana emakmu? Amerika? Inggris? Skotlandia?
Prancis? Italy? Ahahahahaha. Emakmu orang Tegal! Hidup di daerah pelosok yang
mayoritas rumahnya masih dari Gedeg. Untung saja emakmu diboyong kesini.
Dan bisa cengengesan seperti sekarang.
Jika aku tak berharap padamu, pada siapa aku akan
wasiatkan dan amanahkan masa depan budaya dan adat kita, nak? Kamu lahir dari
sebuah regenerasi orang yang timur yang disekat oleh kehidupan barat yang
terlanjur jadi budaya di "rumah kita" sendiri. Restorasi, kalau kau bisa. Kekuatan orang-orang dengan
tekad kuat akan membunuh keadaan buruk.
Ayolah, nak. Pacaran pun bukan cara kita untuk
menunjukkan rasa cinta kepada seseorang. Kau memegang tangannya, menciumnya. Bukan
cara kita, nak. Dan tak perlu kau sadur! Bukan masalah berani atau tidak
berani. Tapi cara yang baik harus kau tunjukkan sebagai kebanggaan menjadi
orang timur yang luhur. Menikahlah jika kau siap dan biarkan perasaan cintamu
menjadi penghias kehidupan jika ternyata umur dan mentalmu tak cukup mapan
melanjutkan langkah.
Sekali lagi, nak. Kamu punya cara mengkspresikan sesuatu
dengan caramu, kultur timur yang luhur. Dan tragisnya, kau mungkin banyak tak
tau ekspresi yang harus ditunjukkan sebagai orang timur sebab masamu telah disekat
oleh budaya barat. Sampai kau lupa atau bahkan tidak tahu, bagaimanakah menjadi
orang timur.
Lupakan rumah orang lain dan jalani kehidupan dalam
rumahmu sendiri.
Salam
Möti Peacemaker
ijin share kawan
BalasHapuswaduh
BalasHapusawalnya kurang ngerti api pas baca ke bawah baru sadar ini seperti monolog ya, dimana karakter berbicara sendirian
dan isi ini adalah nasihat dan petuah tentang mencintai budaya dan adat istiadat kita sendiri.