Tempo hari saya membaca beberapa
tanggapan di sebuah koran perihal sistem sensor yang dirasa aneh. Dan saya
bahagia ketika ada salah satu argumen yang dengan tegas mengatakan bahwa unsur
yang harusnya mendapat sensor bukan hanya wujud, tapi juga isi cerita.
Setidaknya sistem sensor harus fair dalam hal ini. Sensor diharapkan bisa
menjadi pressure terhadap pola berpikir dan perilaku amoral. Dan jarang
disadari bahwa isi cerita (dalam sinetron remaja khususnya) lebih berpotensi
dan mengena untuk dijadikan sebagai bahan duplikat perilaku. Jauh lebih
aplikatif dan efektif merusak, toh? Jika mau fair, seperti halnya wujud, isi
cerita juga harus mendapat perhatian.
Saya beberapa kali merasa diejek oleh
iklan Thailand. Mereka mampu membuat cerita berkualitas. Dan hal tersebut tidak hanya ada satu dua iklan saja. Ada banyak iklan Thailand membuat saya malu ketika membandingkan dengan iklan kita, apalagi sinetron kita. Setidaknya saya merasa diejek dalam dua hal.
Pertama, saya diejek dengan inspirasi
yang ada di dalam cerita.
Yang Kedua, ini yang orang sering lalai,
DURASI!
Mereka mampu menginspirasi dan
mencerahkan penonton dengan durasi cerita yang mayoritas tidak lebih dari 7 menit. Amanatnya jelas, tidak bertele-tele, dan pesan yang disampaikan mengena.
Berbanding terbalik dengan sinetron di Indonesia yang sampai ratusan bahkan
ribuan episode, tapi kejelasan cerita buruk dan minim suguhan pesan.
Iklan dan sinetron pada prinsipnya sama toh,
komersil juga. Tapi menjadi berbeda ketika topiknya soal konten. Sinetron
Indonesia yang selama ini ada seringkali tayang bertahun-tahun lamanya karena
pasar dirasa masih menginginkan. Ini yang kadang jadi pertanyaan bagi saya.
Dengan sinetron yang sekarang ada, lantas dinikmati oleh banyak itu, apakah
benar-benar dirasa bagus atau karena tak ada pilihan lain? Kita diseret oleh
industri dengan minimnya inovasi yang mereka miliki dengan menampilkan cerita
yang itu-itu saja, ataukah karena kita benar sudah benar-benar merasuk di
dalamnya?
Kecerdasan cerita sinetron adalah bagian
dari pelecut kecerdasan berpikir penonton. Cerita yang itu dan begitu saja
berpotensi menumpulkan pikiran. Kita butuh sebuah cerita yang menginspirasi
dengan cerita yang enak dinikmati.
Dan seperti yang sudah saya katakan
tadi, Thailand bisa melakukannya lewat iklan yang mereka buat. Kalau industri
pertelevisian cerdas dan mau, ini prospek besar untuk ambil bagian dalam
menginspirasi dan mencerdaskan bangsa. Kalau mau. Dan seperti dasar industri,
saya kira model sinetron seperti ini tak kalah peminat, yang artinya tetap bisa
mengalirkan fulus.
Jika sinetron kita tak bermutu, sensor
saja. Atau mungkin bahkan tak dapat iIn tayang. Kadang kita butuh ketat untuk menekan munculnya hal-hal berkelas. Kita
membutuhkan cerita antistreaming –istilah pengganti antimainstream ala
mas abu suwar- yang berkualitas.
Saya khawatir jika sinetron yang mbulet
di Indonesia seperti sekarang dan enggan berinovasi disebabkan oleh ketakutan
kehabisan ide dan tak punya cerita baru pada sinetron beikutnya. Ah, saya kira itu tak beralasan. Kita
banyak stok penulis dan berotak penuh ide. Memberdayakan para penulis untuk
ikut ambil bagian saya kira salah satu langkah tepat untuk mewujudkan sinetron
bermutu yang cukup beberapa episode saja, tapi berkualitas. Tak perlu jadi
sinetron turun temurun toh?
Ini sekaligus menjadi penghargaan kepada
penulis yang selama ini sering tidak diuntungkan dalam industri penerbitan.
Bukan hanya penulis-penulis yang baru, problem royalti juga masih sering
dirasakan oleh penulis yang sudah malang melintang di dunia literasi. Dan jika hal
ini terwujud, tentulah senyum penulis tak lagi hanya dalam cerita yang mereka
karang. Senyum itu akan benar-benar dan nyata-nyata ada, bukan hanya fiksi
belaka.
Salam
yah entah kenapa sekarang saya tidak suka dengan sinetron indonesia.. saya lebih ingat cerita sinetron 90an, ceritanya ngalir dan ada pesan yang sampai di penonton menurut saya.
BalasHapusSetuju, mungkin akan lebih baik jika episodenya sedikit. Tapi sayangnya kebanyakan sinetron Indonesia berbelit-belit bikin males nonton. Ngomong-ngomong tentang Thailand, aku belum pernah nonton ilkan sana sih hehehe. Tapi aku pernah nonton beberapa filmnya, dan memang bagus. ^^
BalasHapusDunia perfilman & sinetron di Indonesia saat ini masih lebih memikirkan untuk menghasilkan uang lebih banyak daripada memberikan tontonan yg berkualitas, makanya sinetron di Indonesia saat ini temanya sangat mainstream sekali dan kontennya tidak mendidik, episode diperbanyak supaya untung terus berjalan. Semoga kedepannya industri film di Indonesia bisa mengubah hal ini ya..
BalasHapusTentang sensor, aku setuju, selain fisik, ceritanya juga harus difilter lagi. Tapi sebenernya juga, dari kitanya juga pasang tameng diri. Jadi nggak peduli ada sensor. Soalnya kalau yang gak pake tameng, disensor jadi buat mereka mikir bentuk aslinya gimana. Pikirannya jadi kemana2. Mau gak mau, melatih otak berimajinasi yang nggak-nggak.
BalasHapusKalau kualitas sinetron indonesia... hehee.. udah lama gak nonton. Gatau deh... :D Yang pasti masih kalah sama lainnya. Tapi Thailand yang durasi 7 menit, biasanya itu bukan sinetron. Itu semacam iklan layanan masyarakat atau bahkan iklan produk, asuransi misalnya.
Salam kenal... ini pertama kalinya mampir sini :)
Dulu waktu gue kecil gue punya cita-cita punya Tivi sendiri.
BalasHapustapi sekarang pas gue sudah gede dan 'alhamdulillah' mampu beli Tivi sendiri, kayaknya hasrat gue sama Tivi udah ga ada legi deh.
gue udah muak ama tayangan di Tivi-tivi gitu.
gue lebih suka internet dari pada TV,
Youtube juga bagus, gue jadi bisa liat tayangan yang mendidik lewat youtube.
macem iklan thailand itu :)
setuju banget paraaah! duuh ga ngerti lagi deh ya sama sinetron Indonesia. makin ke sini makin ga jelas gitu apa maksud dan tujuan sinetron itu. tapi dulu pas SD diem-diem aku suka nonton sintron hehehe, (soalnya kan belom tau youtube dan gadget waktu itu) emang dilarang di keluargaku nonton sinetron soalnya gak mendidik.
BalasHapusSekarang ini dunia perfilman kita sudah benar-benar kacau. Sangat sedikit sekali yang menyuguhkan konten-konten berkualitas. Padahal bener yang disampaikan, banyak penulis-penulis kreatif yang tentunya butuh tempat untuk menyalurkan ide kreatifnya, tapi sayangnya mereka semua tidak diberi kesempatan. Hah miris. Semoga kedepannya kreator-kreator indonesia bisa banyak berkontribusi dinegerinya sendiri, khususnya penulis.
BalasHapus