Nampaknya
semakin kesini, penyakit hoax ini semakin “naik daun”. Bagaimanapun kita tentu
resah dan jengkel dengan kebohongan yang disebarkan. Dan semua hal itu,
disadari atau tidak, berhubungan erat dengan semakin mudahnya akses
menyampaikan berita, lewat internet khususnya. Bahkan banyak web, blog, dan
akun sosial media yang dibuat khusus untuk menciptakan berita hoax.
Beberapa
waktu lalu saya diajak oleh Omda Siddi Miftahul Luthfi Muhammad ke kediaman
Sulistyo Soejoso (Budayawan/Dewan Pendidikan Jawa Timur). Diskusi beliau berdua
berjalan dengan ditemani joke joke segar. Saya benar-benar merasakan bagaimana
hidup di tengah orang-orang otak yang berisi ilmu. Saya masih sangat ingat,
salah satu penyataan dalam diskusi itu adalah perihal adanya perbedaan kriteria
kecerdasan era dulu dan sekarang berkenaan yang dengan informasi. Kita dulu
meyakini bahwa kita bisa menguasai dunia dengan banyaknya informasi yang kita
dapat. Tapi hal tersebut sungguh berbeda di era ini, yang menguasai dunia
adalah mereka yang bisa menyaring informasi. Banyaknya informasi yang kita
telan mentah-mentah barangkali malah akan membuat kita tidak berkutik
sebab banyaknya berita tidak benar yang menyusup ke otak kita.
Jika
kita tela’ah, informasi hoax adalah senjata yang mempertaruhkan kesatuan kita.
Sebab harus diakui, hoax membawa potensi dan dampak perpecahan yang nyata. Benar
bahwa kita saat ini tidak berperang di medan laga dengan saling menghunuskan
pedang. Tapi proxy war dan psychological war di antara kita tidak pernah berhenti. Hoax
menjadi salah satu cara mematikan citra paling ganas yang pernah ada.
Maka ketika hoax kini makin laku
keras, benteng besar pun mulai dibangun. Berbagai lembaga menyiapkan strategi
untuk menangkal hoax. Untuk meretas dari akar dengan menyadarkan para pembuat
hoax, sepertinya hal tersebut sulit tercapai. Sebab hoax adalah konsep dan
strategi untuk mencapai sesuatu yang barangkali selama ini tersembunyi dari
pengatahuan kita. Agaknya yang paling riil adalah dengan merapikan sengkarut
dalam pikiran kita untuk bisa memfilter dan men-tabayyuni informasi yang kita
dapat. Salah satunya dengan membiasakan literasi serta meningkatkan sosialisasi
bahaya hoax.
Guru Besar Ilmu Komunikasi
Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Prof. Dr. Henri Subiakto mengatakan
bahwa kita mesti terbiasa untuk membaca tulisan secara lengkap. Tidak hanya
membaca judul dan membaca tulisan secara tuntas untuk bisa menela’ah hoax dan
tidaknya sebuah berita serta mendapat informasi yang utuh.
Ini pula yang diserukan oleh Dinas
Kominfo Kabupaten Tuban dengan mendukung gerakan anti hoax.
“Kebijakan pemerintah pusat
sepatutnya harus ditindaklanjuti bersama sampai ke daerah, dan daerah punya
kewajiban mendukung kebijakan tersebut,’’ tegas Kepala Dinas Kominfo Tuban,
Ir. Hery Pasetyo, MM saat dikonfirmasi di ruang kerjanya (http://tubankab.go.id).
Lebih dari itu, kita sesungguhnya
juga patut mengapresiasi langkah yang diambil oleh pemerintah pusat yang
bergerak dengan memblokir situs dan akun yang menyebar berita hoax. Hal ini
tentu sangat baik untuk menjernihkan kesimpangsiuran informasi yang beredar.
Langkah yang juga patut
diapresiasi dalam menangkal hoax adalah langkah yang diambil oleh PWNU. Sejak
22 Oktober 2016 PWNU sudah membuat tim Anti Hoax yang rencananya akan
diluncurkan pada 31 Januari 2017. Hal ini diharapkan membantu sosialisasi akan
bahaya hoax dan mampu membuat dampak positif untuk memerangi serta meminimalkan
adanya kesimpangsiuran informasi yang bertebaran.
Salam
Blogger Tuban
Jangan kasih kendor Mas Moti, hajar terus orang2 yg suka nyebarin hoax di internet.
BalasHapusmantap mas moti, lanjutkan...
BalasHapusSip.. Tuban Anti Hoax.. lanjutkan..
BalasHapussemoga bisa diikuti kota lain diindonesia, indonesia anti hoaks
BalasHapusDukung bgt tim Anti Hoax, supaya masyarakat dpt mengerti dan memilah mana berita yang fakta dan mana yang hoax. Lanjutkan Tuban!!
BalasHapus