Close Program dan Harapan-Harapan yang Berhamburan

 

Saya bergulat dengan urusan tulisan dan desain secara bersamaan. Saya mencoba menikmati keduanya yang tapi juga dibuntuti dengan hal-hal tidak bisa saya nikmati. Toh memang segala hal yang kita senangi selalu dibarengi dengan hal-hal yang juga tidak kita senangi. Menyenangi sepakbola dihadapkan dengan cedera dan kekalahan. Menyenangi sepeda dihadapkan kemungkinan los, ban bocor dan terjatuh. Menyenangi dia dihadapkan dengan kenyataan sudah ada yang punya. Ya wisl lah, toh memang hidup memang sekadar senda gurau belaka.

Kembali ke pembahasan aktivitas. Dalam urusan tulisan dan penataanya kurang lebih juga seperti itu. Ada beberapa hal menyebalkan yang kadang menghabiskan porsi kenikmatan yang semestinya bisa saya santap. Dalam tulisan misalnya, correcting dan editing sungguhlah merupakan pekerjaan yang menjenuhkan ketika ternyata tulisan yang  dihadapi adalah tulisan yang belum jadi (baca: mentah). Kaidah penulisan yang berantakan serta typo yang bercecer di mana-mana. Pada tulisan seperti ini, jika harus diseriusi, sungguhlah menghabiskan banyak waktu yang kadang juga tenaga. Apalagi dikombinasi dengan emosi ketika menelaah tulisan yang harus dibenarkan. Jika harus serius dan sungguh-sungguh, itu artinya saya harus mengalokasikan beberapa waktu untuk mandengi tulisan lebih lama dan lebih jeli menelaah kesalahan yang harus diperbaiki.

Ini merupakan salah satu keburukan pekerjaan korektor juga editor yang kadang saya merasa bahwa pekerjaan ini dituntut untuk terus-terus mencari kesalahan, su’udzon dan tidak boleh ada ruang untuk husnudlon sama sekali. Sebab dalam posisi sebagai korektor atau editor, husnudlon adalah blunder yang bakal meloloskan berbagai kesalahan tulis. Jeleknya lagi, ketika saya membaca buku, saya tidak bisa membaca cepat karena harus melihat detail tulisan mulai kata kata, spasi, titik, koma, tanda baca dan lain sebagainya, seolah saya sedang mengoreksi tulisan tersebut.

Meski menghabiskan banyak waktu, tapi aktivitas itu masih mending jika dibandingkan dengan ketika ditambah dengan mendesainnya. Untuk buku, misalnya, harus ada kejelian yang lebih karena tanggungjawab bertambah. Saya sendiri sebenarnya lebih suka ketika diberi tugas keduanya secara bersamaan daripada harus me-layout saja. Sebab ketika me-layout dan masih ada banyak kesalahan dalam tulisannya, saya tidak bisa tidak harus memecah fokus ulang untuk mengoreksi dan menata desain secara bersamaan. Tentu waktunya lebih lama. Saya sendiri merasa bahwa hal tersebut menyenangkan saja, asal tidak berbenturan dengan deadline yang sudah dekat. Tentu dikecualikan ketika correcting dan editingnya sudah ciamik, maka menata desain untuk buku menjadi nikmat dan tanpa beban kesalahan isi tulisan.

Barangkali yang sering bikin jengkel dan megahi adalah ketika harus berhadapan file berat di komputer yang tidak mumpuni. Selain lambat, potensi close programnya terlampaui tingg. Jangankan komputer spek rendah, spek tinggi saja sama sekali tidak menjamin terhindar dari close program. Biasanya saya sudah waspada dengan sering men-save untuk menakan banyaknya data yang hilang dan harus mengulang ketika close progam.

Di komputer spek rendah, men-save butuh waktu yang lumayan. Biasanya ketika tampak lancar, men-save lebih memilih diabaikan daripada harus menunggu waktu save. Taruhannya adalah akan banyak file yang hilang ketika tiba-tiba close program.

Pada keadaan close program, harapan-harapan tugas terselesaikan dengan waktu yang semestinya menjadi harapan kosong. Pun keinginan untuk bisa tidur dengan tanpa memikirkan dan dihantui tugas-tugas menjadi tidak terwujud.

Kompleksnya membuat buku atau majalah jelas tidak hanya itu. Tetapi dari situ saya menjadi sadar dan lebih menghargai buku secara umum. Sebab wujud sebuah buku adalah kumpulan-kumpulan waktu, tenaga, pikiran, materi yang terkumpul menjadi satu. Sejelek-jelek buku, ada usaha yang dilakukan untuk mewujudkannya. Ada penulis yang menggali pikiran dan menuangkannya. Menyita waktu yang terkadang benturan dengan pekerjaan lain yang akhirnya mesti dicancel. Ada editor yang harus jeli melihat kesalahan dan kekurangan yang mesti diindahkan. Ada penata tulisan yang barangkali juga merasakan close program seperti apa yang saya alami. Serta usaha-usaha lain yang mewujudkannya menjadi buku.

Tak kurang, buku seperti nasi, ia tidak datang secara tiba-tiba seperti ada di hadapan kita. Nasi terwujud dari dari rentatan hutang petani, tetesan keringat para pemikul, ocehan juragan, rendahnya harga padi untuk para petani dan kepelikan-kepelikan yang lain.

Maka saya pernah mendapatkan nasihat yang indah untuk menghabiskan nasi yang ada di hadapan kita sebagai bentuk syukur. Satu nasi butir nasi yang kita buang adalah kufur nikmat terhadap orang-orang yang sulit makan hingga  harus memakan dari nasi basi.

Rentetan itu menyadarkan saya bahwa apa yang berada di hadapan saya bukanlah barang jadi, tapi merupakan usaha-usaha melelahkan yang mesti dihargai.

4 komentar:

  1. Halo Mot, tulisan yang bagus banget dan tentu saja sangat rapi. Nggak cuma orang yang kerjaannya berhubungan sama buku aja sih. Kayak saya misalnya, sekarang kalau baca buku dan nemu ada banyak kesalahan penulisan atau tanda baca juga bawaanya pengen benerin.

    Btw, di postingan ini font-nya beda kaya postingan lain ya. Ini sengaja apa nggak sengaja, Mot? Ini lebih gede, di postingan sebelumnya lebih kecil. Di postingan lain ada yang pakai calibiri. Nggak ada maksud apa-apa loh, Mot.. cuma penasaran aja hehehe

    Saya juga setuju banget untuk lebih menghargai buku. Beneran ada proses yang sangat panjang dan ada banyak orang yang terlibat juga. Terus yang persoalan close program, mungkin udah waktunya speknya ditinggiin lagi ya Mot :-D

    Semoga semakin rajin nulis di blog, ya Mot ~

    BalasHapus
  2. Halo kak, setuju sama bang edot, gak cuma buku sih, semua karya pasti banyak keringat di baliknya. Kalau ngomongin desain mungkin banyak yang minta bikin desain ke teman dengan "harga teman" dan berdalih "lah, gini doang masa dibayar?". Padahal dengan dia minta tolong menjadi bukti kalau karya yang dia minta itu tidak bisa dia kerjakan sendiri.

    Dan kalau ngomongin karya, sebenarnya yang kita bayar itu bukan sekadar karya, tapi keringat dan perjuangan di balik terciptanya hal itu. Bukan hanya keringat sih, waktu dan pengalaman juga jadi bagian penting di dalamnya.

    BalasHapus
  3. Rapi banget bang. Bukan hanya editor sih. Desainer grafis pun begitu. Apalagi kalau kaya aku yang bisa dibilang perfeksionis (padahal lebih ke idealis sih).

    Dikit salah atau kurang geser ke kiri atau ke kanan aja suka dikomen. Bahkan besar kecilnya tulisan, trus tanda baca dan cetak tebal dalam desain bahkan sampai masuk ke copywritingnya kalau misalkan masuk ke ranah media sosial.

    Apa daya, aku hanyalah seorang pembelajar yang saat ini diberikan amanah untuk menjadi ketua konten kreator dakwah di komunitas. Alhasil aku harus lebih banyak belajar dibandingkan teman-teman seperjuanganku yang lain. Meski kadang suka insecure juga...

    Bismillah, segala hal yang terjadi saat ini pasti menyimpan banyak nilai pembelajaran untuk masa depan yang lebih berarti. In syaa Allah

    BalasHapus
  4. pagi bang, uda 3 bulan nggak aktif ngeblog na , heheheh

    BalasHapus