Tak ada yang
perlu disalahkan. Semua telah terjadi. Akupun sudah terlanjur tenggelam dalam
perasaan kalutku sendiri. Dan sangat sulit membuangnya. Indah! Namun melahirkan
dilema besar.
Aku hanya
daging tak berharga jika harus bersanding dengan cetakan Tuhan yang
terbalut kain dunia menawan. Aroma hidup yang sangat dicintai.
(_*_)
Kalau aroma
menyergap perasaan. Akulah yang kan terjungkal dan mati dengan perlahan.
Terlalu wangi bagiku. Tapi aku tak juga bisa menghentikan laju kencangnya. Dan
aliran darahku semakin lama semakin panas. Harap yang tak mungkin aku penuhi.
Kebodohan yang akan juga akan menancapkan pedang hidup di ulu hatiku sendiri.
Orang-orang
sering bergumul di kelas dengan pembicaraan yang aku bahkan muak mendengarnya.
Kalau saja angin hanya membawa suara yang indah. Tentu pembicaraan mereka tak
akan terseleksi menjadi suara. Menguap! Aku sangat yakin itu.
Menikmati
buku adalah hal yang sangat menyenangkan. Bagaikan menggenggam dunia. Kalau
kata orang “Buku Adalah Jendela Dunia “ dan aku sangat setuju. Tapi aku juga memaknai
Buku Adalah Kompas. Memberi arahan pada langkah-langkah yang akan ditempuh dan
menujukkan mana yang harus dijauhi. Dan aku adalah pecinta jendela dunia dan
kompas. Dan sedang benar-benar mencintai kebenaran.
(_*_)
Bukan aku tak
punya pilihan. Tapi memang inilah langkah yang kutentukan. Mungkin terlalu
ganjil atau bahkan terkesan bodoh. Tapi inilah yang harus aku pilih. Bunga
secantik itu terlalu tinggi bagi serangga hidup yang sering bergelut dengan
kenyataan pahit. Dan aku tak ingin mengajaknya menari dengan tarian
penderitaan.
Kulangkahkan
kaki seperti biasa. Semangat yang sering luntur di tengah langkah. Tapi tetap
harus kujalani. Ini perjalanan sulit yang tetap harus di akhiri dengan baik. Wajah
cantik itu terlalu indah untuk terbuang. Tapi aku ingin memilih untuk sadar
diri. Mengukur strata dari sisi ke sisi agar nantinya tak ada kecewa.
Buku bacaanku
tercinta kukeluarkan dari tas hitamku. Aku tak perduli manusia di kelas seramai apapun. Aku tak mau
terlibat dan tak ingin ikut campur. Melerai pun enggan. Toh pasti tak
akan berhasil mendiamkan mulut mereka yang terlanjur terbiasa bicara.
Sesekali
kulirik jam di tanganku. Sudah jam 9. Namun belum ada guru yang datang.
Sekalipun guru pengganti. Tapi aku enjoy saja. Toh aku masih bisa membaca buku
untuk menggantikan waktu yang berpotensi
terbuang begitu saja. Dan membaca buku kurasa sudah agak cukup bahkan lebih
untuk mengganjal ketidak hadiran guru dalam acara tranfer ilmu kali ini.
Aku tak
pernah bisa meninggalkan wangi dalam satu ruangan yang terlalu harum. Meski
sering kutepis. Tapi pada akhirnya aku selalu menikmati wangi yang bahkan aku
tak tahu tercipta untuk siapa.
Kupandangi
lekat wajahnya. Gurat wajahnya yang anggun. Senyum yang sangat sering tercipta.
Meski tak ditujukan untuk siapapun, apalagi untukku. Mungkin hanya ditujukan
untuk hatinya sendiri. Melepas penat hidup yang terkadang datang menyergap.
Selalu ku
pegang prinsip yang ada dalam diriku. Aku harus terus introspeksi diri. Mengukur
sampai mana aku harus bermimpi dan menginginkan sesuatu. Meskipun tak
kupungkiri aku jatuh hati padanya. Kurasa, bukan berarti aku harus berambisi
menggaetnya menjadi seorang pasangan. Cukup sebagai pengagum rahasia. Tidak
seperti kebanyakan laki-laki disini yang dengan blak-blak mengemis cinta
padanya.
Setiap pagi.
Bunga dan surat cinta selalu penuh meja kelasnya. Aku sering muak melihat
laki-laki yang menginjak-injak harga dirinya sendiri hanya untuk perempuan. Tapi
aku terkadang merasa, negatif thinking-ku hanya karena aku iri dengan mereka
yang dapat melangkahkan diri untuk sebuah realisasi keinginan yang tepat. Ya, itu karena aku tak seperti mereka. aku sadar siapa aku dan
siapa Diana. Hampir-hampir tak ada yang kurang darinya. Cantik jelas, kaya tak
diragukan, cerdas pasti dan laki-laki mana yang tak tertarik. Tapi aku tak
ingin menjadi sosok yang tak tak tepat. Aku mulai menyingkirkan sedikit demi
sedikit rasa sukaku padanya. Karena aku tak ingin menjadi sosok kriminal.
(_:_)
“aku selalu
berharap. Kau yang datang padaku. Atau paling tidak memberi surat seperti yang
dilakukan oleh laki-laki lainnya demi mendapatkanku. Dan dengan semangat. Aku
selalu membuka semua surat yang ada di mejaku. Berharap ada satu saja surat
darimu”
Hanya diam
yang bisa kulakukan. Aku seperti seorang tawanan yang dipaksa mengakui
perasaanku. Dan harus mengakui secara langsung di depan orangnya. Meski tak ada
orang lain selain aku dan Diana. Tapi tetap saja aku masih sulit untuk mengakui
rasa cintaku padanya. Bukan karena aku malu.
“aku ini
parjan. Dan tak ingin menjadi kriminal”
Aku tahu ia
mendengarnya, dan tak salah. Ia mengangkat wajahnya. Memandangiku dengan rona penuh
tanda tanya.
“maaf, aku merasa kita berada dalam kasta yang
jauh berbeda. Dan aku tidak ingin mengotori atau bahkan merusak tatanan hidupmu
yang indah. Aku memang menyukaimu. Dan tak pernah kupungkiri. Meski kucoba
untuk kubuang. Tapi sampai saat ini rasa itu belum juga hilang”
“hanya itu
yang membuatmu enggan menyatakan perasaan padaku ? orang yang memberi puluhan
bahkan ratusan surat ini lebih tak pantas bersanding denganku” Diana membuang puluhan surat yang ia
keluarkan dari tasnya. ”aku tak pernah mempermasalahkan dan tak perduli dengan
kasta. derajat atau apapun namanya. Aku ...!”
“aku yang
bermasalah dengan itu!” aku menyela kata-katanya. Kubiarkan hembusan angin
menenangkan perasaanku. Aku mencoba tenang dan rileks untuk menjelaskan
semuanya.
”aku masih
punya hati, ian! Betapa bodohnya aku yang berharap cinta darimu. Jika lalu aku
berharap dan ternyata terwujud. Lalu apa
yang akan dikatakan oleh alam. Kau akan menjadi sangat hina karena bersanding
denganku. Sebuah harapan kriminal yang meski kubuang”
“tidak! Aku
akan lebih merasa hina bila tak bersanding denganmu. Argumentmu cukup bagus.
Tapi sadarkah kau, itu hanya kekhawatiranmu saja. Kau terlalu takut pada masa
depan. Dan terkesan sangat bodoh. Yang meski kau buang adalah ketakutanmu,
bukan harapanmu. aku sangat berharap padamu!”
Tak lagi ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku sedang mencari sebuah jawaban yang tepat untuk memecah permasalahan ini dengan arif. Tetap memegang prinsip atau mengikuti keinginan dari diana.
Terdengar kakinya melangkah. Semakin dekat denganku. Dan kini tepat didepanku yang masih tertunduk. Tangannya yang halus itu mengangkat wajahku. Kini mataku penuh dengan wajahnya. wajahnya semakin dekat. Sangat dekat.
Tak lagi ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku sedang mencari sebuah jawaban yang tepat untuk memecah permasalahan ini dengan arif. Tetap memegang prinsip atau mengikuti keinginan dari diana.
Terdengar kakinya melangkah. Semakin dekat denganku. Dan kini tepat didepanku yang masih tertunduk. Tangannya yang halus itu mengangkat wajahku. Kini mataku penuh dengan wajahnya. wajahnya semakin dekat. Sangat dekat.
30 Juni 2011
Keren..
BalasHapusTapi binggung.. Ini cerita atau puisi ya?
cerita dari puisi
Hapusehehehehe..cerpen aja deh.agak bukan kriteria puisi kok.....ehehe
BalasHapuskerens kakak :3
BalasHapushehee walaupun mungkin mencintai sperti terkesan menyakiti diri sendiri tp slagi masih bs menikmati yang namanya cinta, rasakanlah itu :p
selamat bergabung di Blogger Energy yaa ^^
ehehehe. Muncul..ternyata six sence...
BalasHapusIya...terima kasih.
Siap memberi energy
uwaaahhh keren banget kata-katanya, va sering juga buat cerita kayak gini, tapi gak sebagus ini.
BalasHapushaduhhh kata-kata yg ini "Bunga secantik itu terlalu tinggi bagi serangga hidup yang sering bergelut dengan kenyataan pahit" berasa gimana gitu, huuuhhh :'(
haduh..saya sendiri juga bingung mbak
Hapusdari paragraf awal aja kata2nya udah keren... :)
BalasHapusmoti berbakat sekeli bikin cerita begini...
jadi gak tau harus komen apa...
aku ijin print yaa tulisannya...
iya...silahkan
Hapuscerpennya bagus :)
BalasHapusagak berat sih kata-katanya, tapi bener2 bagus, butuh waktu untuk memahami maknanya :)
itu endingnya wajahnya semakin mendekat, dekat, dekat dan dekat dan .....??
tokoh utama tetep kekeh sama pendirian, walau hati punya rasa yang bergejolak tapi berusaha utk ditepis karena merasa dirinya tidak pantas bersanding dengan si "dia"
kereeeen :)
eheheheehehe..imajinasi murni kok
Hapussambil six sence dikit
Konflik perasaannya ada.
BalasHapusGood good good :)
Keep writing ya moti
~(‾⌣‾~) (~‾⌣‾)~
iya,,berusaha ngeluangin waktu untuk nulis..eheheheehew
Hapuspenggunaan kata-kata asing lebih tepat kalo di italic kan... "Toh"
BalasHapusterus udah gitu ada hal yang mungkin cuma bisa dipahami beberapa orang tertentu saja. sepertinya diilhami dari kisah nyata
eh, kagak....
Hapusterima kasih ilmunya bang
keren..keren...
BalasHapuscerpen tp puitis...
lanjut...
di ilhami dari unsur puisi- :P
Hapuskak moti rasanya bakat deh nulis ginian soalnya kata katanya pas banget
BalasHapuskayaknyaenggak deh...
Hapusini gak sengaja
keren..
BalasHapusjadi kayak diary gitu ya.. :D
iya,,,,gak sengaja
Hapuswaw gaul bro..
BalasHapuskayaknya lo berbakat buat yg ginian. pasti juga jago bikin puisi :D
huuuhuuhhuuuhhuhhhhhhhhhhhhhhuhuhu......jadi malu. doanya bang
Hapuslanjuting mosting yang beginian..baguuuus...pemilihan katanya oke..
BalasHapuskalah sama bales mbak
Hapusbener-bener....
BalasHapusgue juga baru sadar ternyata secara nggak sengaja waktu kita mencintai seseorang itu kita mempertaruhkan hati kita kepada orang lain, kalo orang itu nggak bisa menjaga dan merewat dengan baik pasti ujung-ujungnya "mencitaimu adalah kriminalitas" tapi beda kalo orang itu bisa menjaga dan merawak hatinya.
iya...semoga nggak jadi orang kriminal...apalagi soal cinta
Hapuswih sumpah gue bacanya sampe melongo, ini keren moti keren .
BalasHapustrus lanjutin bikin yg beginian :))
nggak percaya..ehehehehe
Hapusiya,,kalau ada waktu saya tulis lagi
terlepas dari ini puisi apa cerpen aau apalah, lu emang bakat bang buat nulis ginian.
BalasHapusoy ini yang nulis lu apa bang azim??
ya gualah bang..ini kan blog gua
Hapus