Para pecinta bola dengan cinta membara pada tanah air tentu akan kecewa luar biasa jika Indonesia tumbang dalam pertandingan. Tapi naasnya, DNA kekalahan kita lebih terasa daripada DNA juara. Harapan kemenangan kita besar, tapi yang terjadi ternyata tidak seperti itu. Kita masih saja jadi tim jago kalah.
Bayangkan, Indonesia berada di urutan 160 FIFA dari 211 yang ada di situs
fifa.com
Apa yang membuat peringkat kita sedemikian buruk? Tentu banyak faktor. Tapi
salah satunya adalah bakat-bakat luar biasa di akar rumput yang disia-siakan.
Saya menjumpai banyak sekali anak-anak dengan skill sepakbola luar biasa di
desa. Mereka bahkan mendapatkan kemahirannya secara otodidak. Betapa akan luar
biasa jika anak-anak macam ini mendapatkan polesan pendidikan sepakbola yang
mumpuni.
Semestinya sekolah memback-up ini. Tapi seberapa peduli sekolah pada bakat
olahraga anak? Seberapa peduli sekolah pada kemahiran sepakbola siswanya?
Bahkan pelajaran olahraga hanyalah formalitas belaka yang tidak mengarahkan
anak didiknya untuk menekuni dengan serius.
Anak-anak yang mahir dalam sepakbola tetap dijejali kesibukan-kesibukan
pelajaran sekolah. Berapakah yang peduli dan memberikan banyak waktu serta
fasilitas untuk meningkatkan potensinya? Berapa perbandingan antara pelajaran
yang tidak ada hubungannya dengan potensinya, dengan penguatan potensi yang
sudah benar-benar ada?
Kurikulum wajib dengan mata pelajaran tertentu yang dijadikan sebagai tolok
ukur adalah pelemahan pada bakat-bakat yang dianugerahkan Tuhan kepada
anak-anak yang tidak memiliki kemampuan lebih di pelajaran-pelajaran wajib itu.
Mereka digembleng dengan keras untuk pelajaran wajib, dan melemahkan potensi
yang semestinya bisa diramu dengan ciamik.
Jika demikian yang terjadi, wajar saja bakat-bakat itu luruh dengan
sendirinya karena dikotomi pelajaran-pelajaran yang dipentingkan sekolah
sebagai sesuatu yang seolah mesti dikuasai.
Padahal, apa yang diraih oleh pesepak bola top dunia juga merupakan bagian
dari usaha dan percaturan yang sengit antara sepakbola dan sekolah. Membagi
ruang untuk keduanya, karena tidak ada dukungan maksimal dari sekolah untuk
sepakbola membuat keduanya seolah-olah bermusuhan. Robert Pires bahkan hingga
memutuskan untuk putus sekolah di usia 15 tahun demi fokus sepakbola. Dan
hasilnya bisa kita lihat ketika bermain di Arsenal.
Agak berbeda dengan Pires, Mohamad Salah memilih untuk sering bolos sekolah
demi bisa banyak bermain sepakbola. Itu semua mereka pilih karena mereka sadar
akan potensi dan passion yang telah mereka temukan. Setali tiga uang, orang tua
mereka juga memberikan restu pada bakat yang telah dimiliki oleh anak mereka.
Untuk tidak terjadi seperti yang dialami Pires dan Salah, sekolah di
Indonesia perlu mengapresiasi lebih pada sepakbola. Andai kata sekolah tidak
mampu memberikan fasilitas untuk menunjang bakat mereka, setidak-tidaknya
padangan pada masa depan sepakbola tidak layak minor dan lebih rendah dari
pelajaran yang lain. sekolah perlu mengapresiasi kemampuan mereka sebagai
prestasi. Menganggap sepakbola adalah masa depan yang tak lagi suram.
Membangun persepsi semacam ini penting untuk memberikan keyakinan pada
anak, juga kepada orang tua, bahwa sepakbola juga masa depan yang patut
diperjuangkan.
Toh, kalau Indonesia terus kalah, siapa yang kecewa? Padahal salah satu
faktor yang membuat terus keoknya Indonesia adalah bakat-bakat sepakbola luar
biasa yang dipaksa terlalu keras belajar matematika, fisika, dan kimia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar