Kebijakan
impor sesungguhnya sudah menjadi gunjingan lama. Dalih kebutuhan rakyat,
kebijakan itu dinilai tidak populis.
Tanda Tanya kebijakan itu mesti muncul
sebab secara nalar hal tersebut seharusnya tidak terjadi. Apalagi komoditas
yang diimpor adalah ladang potensi kemandirian kita. Beras, kedelai, jagung, gula pasir, daging sapi, dan
lain-lain. Tentu saja itu muskil. Kemandirian yang seharusnya kita
bangun, ternyata malah dimentahkan dan melemparkan petani di lubang keresahan.
Angka
impor komoditas kita tidak sedikit. Hingga Agustus kemarin, angka impor kita
pada 8 komoditas pangan mencapai 51 triliun. Beras sebagai makanan pokok kita
pun masih impor dengan jumlah 225.029 ton senilai US$ 97,8 juta (detik
finance)
Efek samping dari
kebijakan impor adalah minat tanam dan ternak yang menurun. Kekalahan pasar
dari impor yang dilakukan pemerintah memerosokkan pangsa pasar dari petani di
tingkat bawah. Efeknya, mereka memilih profesi lain dan menjual sawah mereka
demi menciptakan kehidupan yang dianggap lebih menjanjikan.
Tapi apakah
masalah selesai dengan menjual sawah dan menikmati pekerjaan lain? Tidak! Ini
bom waktu bagi kita. Jika bangsa Indonesia saat ini masih bisa menikmati impor
dengan harga murah, itu tidak akan berlangsung lama. Harga impor bisa saja
melambung ketika kita sudah melepaskan kekuatan pertanian. Sebab kenyataannya,
sawah-sawah yang dijual oleh petani banyak dimanfaatkan oleh para pemodal asing
lewat kaki tangan mereka.
Jika sudah
demikian, kita akan bergantung pada impor sebab tidak punya opsi lain.
Ketiadaan opsi itulah yang akan dimanfaatkan oleh negara lain untuk
melambungkan harga. Sedang kita sudah tidak lagi punya pilihan selain impor.
Maka muskil bagi
negara untuk lingkup komoditas yang kita sendiri masih mampu untuk menangani,
tapi pemerintah memilih impor. Kebijakan tersebut membunuh petani, yang akan
berujung pada terbunuhnya stabilitas pangan dan ekonomi di masa mendatang.
Sebab sekali lagi, terbunuhnya –mutungnya- petani kita hanya akan menjadikan
kita sebagai penghamba impor dan hanya bisa mengangguk setuju dengan harga yang
dilambungkan.
salam
Möti
Peacemaker
Dulu yang berkuasa adalah rempah-rempah, lanjut migas sampai sekarang, di masa depan bukan tidak mungkin pangan adalah sumber konflik. Kalau Indonesia tdk nyadar juga, siap2 ikutan rebutan pangan dan pasti kalah :-)
BalasHapus