Siapkan milyaran detik waktumu untuk terisi
rangkaian kata. Kalau kau sela dengan diam-diam dan tersembunyi saja. Kau sesungguhnya
tidak sedang menikmati sastra secara utuh. Jika kau secara sadar dan dengan
sengaja membiarkannya tergeletak sejenak untuk merengkuhnya kembali esok hari. Barangkali
kau sedang membiarkan sastramu tercuil. Jika kau biarkan waktumu digulati oleh
aliran kata-kata dan sentruman gagasan secara sempurna. Nah, itulah pelukan
hangat abadimu. Kau sedang mempersuntingnya untuk hidup bersama selamanya. Semoga!
(|-|-|)
Begitu rendahnya pengetahuan saya tentang sastra,
sampai tulisan dengan tema seperti ini menumpuk di meja draft saya. Tak lain
untuk terus mengobarkan gairah menulis yang fluktuatifnya sangat tidak
tertolong. Kekalahan yang sesungguhnya adalah kekalahan terhadap rasa enggan. Enggan
untuk menulis, enggan bangun dari rasa malas dan mulai merangkai kata. Alasan sibuk
sesungguhnya adalah kebohongan belaka. Alasan sibuk adalah kamus kuno dalam
catatan kehidupan. “Yang ada adalah kau tidak meluangkan waktumu untuknya.”
Membaca dan menulis katanya adalah jodoh yang
jangan pernah dipisah. Jika kau cinta membaca, cintailah menulis. Jangan buat
mereka merana karena membuatnya tidak mampu memadu kasih seperti selayaknya. Jangan
kira membaca tak wajib, dan jika sadar bahwa membaca adalah keharusan, maka
betapa jahatnya jika tak kau ajak pula menulis ikut berselancar dalam hidupmu.
Yang sekarang jadi pilihan adalah kau memilih
untuk menselingkuhi menulis (tentu saja juga membaca, karena mereka adalah
kekasih yang sudah terlanjur manunggal), atau mempoligamikannya, atau
memperistrinya.
Jika kau sesekali menjenguknya karena keletihan
yang sangat terhadap penat hidup. Dan kau mencuri-curi waktumu yang sedemikian
panjang untuk menelisiknya sejenak dengan keadaan pikiran yang goncang. Mensetubuhinya,
lalu esok hari kau sudah lupa siapa itu kata-kata, siapa itu tulisan, siapa itu
sastra. Kau tak punya merasa punya kewajiban untuk “menafkahinya” lagi dengan
kata-kata karena kau hanya hinggap sejenak dan tanpa ada klausul kontrak hidup
bersama hingga esok hari, apalagi selamanya.
Jika kau sudah mencintainya dan memilih untuk “mensetubuhinya”
dengan penuh kasih serta menyiapkan kontrak panjang menyelami hidup bersama. Kau
siapkan hasrat jiwa dan ragamu. Kau bisa kapan saja datang dengan kasih sayang,
bermesraan. Tapi ketika pagi menjelang, kau menggeletakkannya di kasur waktumu
dan meninggalkannya untuk menggulati “istri-istri” yang lain. Istri ekonomi, istri
administrasi, istri dagang, istri aktifitas-aktifitas yang tak menguntungkannya
sebagai istrimu yang entah keberapa.
Dan kau memaniskan senyummu dengan sepenuhnya-penuhnya
senyum tanpa ada sedikitpun rasa hambar apalagi pahit. Kau buat ia merasa
bahagia karena setiap hari kau cumbui dengan kasih sayang dan tidak kau tinggal
sewaktu waktu untuk kebutuhan lain. Kau meninggalkannya sejenak untuk kembali
lagi dengan cinta yang makin membara dan membuat variasi cinta semakin beragam.
Kau mencari nafkah “pengetahuan” untuk menunjang kualitas hidupmu dengannya. Menghilangkan
rasa jenuh dengan gaya kehidupan yang monoton. Segala yang kau lakukan tak
pernah lepas dari apa yang membuatnya bertahan dalam rengkuhanmu. Ialah sastra,
istrimu.
(***)
Wallahu A’lam
Salam
Moti Peacemaker