“Terkadang
saya punya pikiran kriminal tentang Makhluk desa yang kuliah di kota. Betapa
sengsaranya mereka yang harus membayar kuliah dengan air mata. Dengan kehidupan
keluarga di desa yang mungkin tak menentu.”
Entah relevan atau tidak, tapi inilah yang mengganjal dalam benak saya.
Pendidikan masih pandang bulu, dan seperti biasa, rakyat miskin adalah korban. Sekalipun
pendidikan merata, tapi bentuk pendidikan yang diberikan bisa jadi jauh
berbeda. Orang desa hanya kuliah atau sekolah yang ekonomi masih bisa dijangkau.
Sedang orang kaya bisa sekolah dimanapun yang ia suka. Dan kembali
lagi, besar kemungkinan orang kaya akan lebih unggul dari orang desa.
Terkadang saya punya pikiran kriminal tentang makhluk desa yang kuliah
dikota. Betapa sengsaranya mereka yang harus membayar kuliah dengan air mata.
Dengan kehidupan keluarga di desa yang mungkin tak menentu. Kepikiran orang tua
di desa yang membanting tulang demi anak-anaknya. Sedang orang tua tidak
memiliki mimpi apapun atas dirinya sendiri kecuali masa depan keturunannya
kelak. Tapi sikap anak juga tidak bisa dengan semerta-merta memanfaatkan momen
ini sebagai sarana menjadi tak tahu diri.
Keluguan orang desa membuat mereka terkadang mumeti. Orang tua
ingin anaknya sekolah yang tinggi, sedang sang anak tidak tega dengan orang tua
yang harus membanting tulang demi sekolah anaknya dan membuat kehidupan
keluarga di desa semakin berantakan. Orang desa yang dididik tahu diri akhirnya
harus menguap dan memutar otak untuk tetap melanjutkan mimpi orang tua dan
tidak membebani mereka.
Ingin mengatakan “mak, sudah saatnya bayar semester”. Tapi sungkan
“tak tertolong”. Malu tingkat tinggi.
Ini pula terkadang yang membuat orang desa kuliah atau sekolah sering tak
fokus. Mungkin tentang kecintaan kepada orang tua yang besar hingga malu dengan
segala kebutuhan yang masih minta. Ini yang membuat orang desa tulen terkesan
tidak manja. Dengan ikut bekerja, atau sekedar membantu pekerjaan orang tua ngaret,
angon, ngedos, dan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Ketika anak sekolah di
kota, pikiran mereka akan mengawang
“siapa yang membantu pa’e ngaret? Apakah aku tega disini, diruang
ber-AC, sedang orang tua sibuk dengan panasnya terik matahari”
Lalu the power of kepepet muncul menghadirkan opsi-opsi. Keluar
dari sekolah atas dasar tahu diri. Atau meneruskan sekolah dengan mengeruk uang
keluarga beserta akibat-akibatnya.
Ditambah dengan tagihan-tagihan semester dari tim administrasi
yang selalu menggelegar bak petir. Satu yang bisa muncul dari mahasiswa desa
adalah, AIR MATA. Ketika orang kaya bebas membeli makan, orang desa masih harus
berkutat dengan perut yang melilit ditambah dengan tamparan tagihan uang
semester yang membelit.
Dalam hati ia berkata
“Pak Presiden, kami ingin kuliah, sekolah yang benar. Tanpa ada gelegar
tagihan bayar semester yang menyeramkan. Orang kaya bisa bebas kuliah karena emak
dan bapaknya punya uang. Dia juga punya uang. Nah saya, orang tua
saya ndak punya uang. Kerja mati-matian. Apalagi saya, ada uang seribu juga
buat bayar parkir sepeda”
Ketika lirih perasaannya berkata demikian. Suara guntur menggelegar.
Seolah bumi bergetar. Suara sound sistem langit menyala.
“Tes...tes..satu dua. Ehem...saya presiden Indonesia. Atas nama bangsa
menghaturkan ini kepada yang mengatas namakan mahasiswa desa. Dengan sangat
tidak hormat saya mengambil hal jawab yang tidak diberikan.
“Ealah cung-cung. Bocah ndeso saja kok berlagak kuliah. Sana bantu
bapak dirumah. Orang miskin ya miskin saja. Jadi orang bodoh saja. Nasab kalian
sudah berada pada garis profesional menjadi orang miskin. Penghayatan perannya
sudah pas. Jadi tak perlu ingin kuliah dan memperbaiki otak, apalagi
memperbaiki nasib. Yang kaya memang pantas kuliah karena punya uang. Kalian,
hadah...hadah..hadah....menghabiskan anggaran negara saja. Saya cuek atas
kritikmu, hey anak desa. Ahahahahahaha” cling. Suara itu menghilang bersama
gelagar yang menyambar.
Anak desa yang naik pitam itu akhirnya harus geram. Darahnya mendidik.
“Presiden Edan. Kabinet slêtêng.”
Umpatnya penuh amarah. Lalu ia tersungkur, menangis.
“Mak, ngapuntene. Saya ndak butuh kuliah. Jalur pendidikan
non-formal saja, mak. Ndak butuh belas kasihan orang-orang bajingan yang
memanipulasi keuangan dalam pendidikan. Saya buktikan, mak. Saya bisa
tanpa kuliah dan tanpa mengeluarkan banyak uang. Dan panjenengan bisa
hidup layak di desa tanpa beban bayar kuliah saya. ngapuntene nggeh, mak.
hiks..hiks...” #akting menangis.
Salam
Moti Peacemaker
25 April 2014
“Bentuk penyadaran diri, bahwa ada kesan yang lebih
menyakitkan dari orang desa yang tidak punya kamar mandi, yaitu orang desa yang
dihalang-halangi untuk memiliki pengetahuan”