Mula-mula yang
terjadi memang sudah tidak baik. Kamu harus tau hal ini dulu, agar nanti kamu simpati
dan mau menolongku. Dengarkan saja. Aku tau kamu pasti punya waktu, kamu
sendiri tidak pernah bekerja di kantor, pabrik, dan juga tak mungkin di
jalanan, sepertiku. Tapi aku tak menganggap kamu pengangguran, sungguh. Meski
nyatanya tidak bekerja, meski setiap minggu bisa membaca cerpen di koran-koran
di manapun yang kamu mau, tapi aku tak menganggapmu pengangguran. Sumpah!
Baiklah, aku
memulai bercerita.
Emakku seorang
perempuan, seperti halnya emaknya Imron, Kisa, Jiga, Urem, dan yang lain.
Sampai sekarang pun masih perempuan. Tapi setiap hari dia marah, dan aku tak
pernah mendengarkan ocehannya, sejak aku bosan. Juga tidak membantah. Terkadang
aku tinggal lari ketika ia marah, lalu ia menghardikku dengan berteriak. Aku
tak perduli. Apa aku salah? Ia marah tak jelas.
Bahkan ketika aku sedang asyik tidur,
terkadang tiba-tiba ia mengguyurku dengan air, tak jarang membekapku dengan
bantal. Maka aku lari ketika ia beraksi dengan marahnya, sebelum
sandalnya melayang ke kepalaku. Tetangga bilang, emakku GJ.
Ketika aku lari dari
rumah lalu cacing di perutku berteriak membosankan, aku pergi ke jalanan
mencari uang yang mungkin bisa dijatuhkan dari kantong orang-orang yang lewat.
Berbekal apapun. Botol minuman dengan diisi pasir dan sedikit kerikil pun bisa.
Kamu jangan heran dengan banyaknya pengamen dengan suara dan modal pas-pasan di
lampu merah, hanya itu yang mereka bisa. Sepertiku, atau bahkan lebih buruk.
Jika uang sudah
cukup atau capek tapi tak dapat uang, aku berhenti. Lalu membeli makanan.
Biasanya mengajak Anto’. Ia selalu menjadi andalan ketika uangku kurang, aku
hutang padanya. Dan ia tak pernah menolak ~sejujurnya memang tidak bisa
menolak. Ia sangat baik sekali, ia penolongku. Tapi di akhir cerita, ia berubah
menjadi anak kecil yang berengsek. Dan ia akan menjadi salah satu icon tokoh
dalam ceritaku.
Satu, dua rokok
adalah bekal pulang malam yang wajib. Satu untuk perjalanan pulang, satu untuk
bangun tidur. Kamu pasti belum pernah merasakan sensasi rokok, aku yakin. Ia
nikmat sekali, dan orang indonesia pun banyak yang suka. Suatu saat kalau ada
orang indonesia datang kesini, kamu bisa menanyakannya. Kira-kira 70 %
laki-laki akan menjawabnya “yes”. Gus Mus dulu juga “yes”, tapi
sekarang sudah “no”. Kamu pasti mengenal Gus Mus kan? Ia orang yang
baik. Orang di musholla samping rumahku sering bercerita tentangnya ketika
malam datang, sambil merokok.
Ketika pulang, biasanya
emak sudah tertidur, kadang juga masih bangun. Kalau masih bangun, ia lantas
mulai marah-marah. Tapi saat ini emak sedang benar-benar sudah tidur, mungkin
capek marah. Aku kasihan dengan emak. Ia menghabiskan masa hidupnya untuk
marah. Tapi sesekali ia baik, ketika menangis. Ya, yang aku tau hanya ketika
itu. Ketika menangis ia bicara seolah ia tak pernah marah padaku, lembut. Suatu
hari ia bercerita hidupnya yang pahit, lalu menjadi pemarah.
Dengar! emak
dulu seorang banar-benar perempuan. Dan kini pun sebenarnya masih perempuan,
sayangnya ia pamarah. Kata emak, dulu ia perempuan yang cantik. Siapa saja bisa
ia pikat, kalau mau. Tapi emak tidak sekriminal itu, ia menjadi perempuan
sewajarnya. Tapi semua berakhir ketika segerombolan pemuda mendobrak kostnya
yang ia sewa dengan beberapa orang temannya. Lalu mereka semua merenggut
keperawananan emakku. Kala itu, hanya emak yang ada di kost. Yang lain, entah
kemana. Kamu tahu, emak menangis saat menceritakan masa lalunya. Dan sekali itu
saja aku melihatnya menangis, tapi ia masih sempat menjitakku ditengah
ceritanya. Aku sabar.
“Kamu kenapa mesti
lahir dari rahimku. Tidak bisakah kamu mencari perempuan yang sudah bersuami
dan pantas untuk melahirkanmu? Lahir dari istri pertama yang belum juga punya
anak, agar suaminya tak mencari istri lagi. Kenapa kamu mesti hadir dan membuat
aku jadi berperut besar. Apa kamu tidak bisa membedakan perempuan yang sudah
punya suami dan yang belum?” lalu emak menjitakku kejam, aku mengaduh sebentar.
Mengelus dada, kembali bersabar.
Setelah kejadian
di kost yang merenggut keperawanannya itu, emak minggat. Tidak juga kembali ke
rumah. Ia memilih pergi ke luar kota dengan membawa malu, beserta aku didalam
rasa malunya. Maka emak setiap hari marah padaku sebab katanya aku bodoh,
datang ke perutnya tanpa ia undang.
“Kenapa tidak
menyalahkan pemuda itu saja, mak? Kenapa padaku?” Suatu ketika aku juga pernah
protes seperti itu.
“Mereka banyak.
Dan aku juga tidak kenal. Apa akan aku marahi semua pemuda didunia?” Begitu
jawabnya
Terkadang aku
berfikir, kenapa emak punya pikiran sedangkal itu untuk menentukan siapa yang
harus disalahkan. Aku ini akibat, bukan sebab. Tapi kenapa aku menjadi korban
kemarahan? Benar kata tetangga, emak memang GJ. Bukankah aku pantas bingung
dengan hal ini.
Iya,
iya....maaf. Saya memang cerewet kalau sudah terlanjur bercerita latar belakang
kehidupan. Baiklah, langsung ke topik.
Aktornya Anto.
Anak yang kecil yang tadi sudah aku singgung sedikit. Mula-mula ia pahlawan
yang baik. Selalu menjadi penyelamat perutku dari gerutu cacing-caing. Aku tak
tahu, kenapa ia bisa selalu dapat uang banyak ketika bekerja. Istiqomah dapat
banyak uang. –agaknya lebih komersil untuk dianggap bekerja daripada
menggelandang. Ia punya uang lebih dari pegawai kantoran--.
Tapi di akhir
cerita. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba ia menjadi monster. Ya, monster.
Bahkan lebih seram dari itu. Aku kira ia belum punya hutang seperti orang-orang
di kampungku dulu. Orang-orang dikampungku sering berkeluh kesah di warung soal
hutang yang mengepung. Aku kadang mendengarnya prihatin. Untuk makan keluarga,
keperluan rumah, mainan buat anak, air, bayar sekolah, buku baru, dan beli
rokok, tentu saja.
Kalau di warung ada recorder untuk merekam
keluh kesah mereka, lalu dikirim ke pemerintah. Peluang wakil rakyat untuk
capek mendengar ocehan mereka sangat besar, terbuka lebar. Tapi orang kampungku
tak capek membicarakannya. Itu salah satu kehebatan orang-orang di kampungku,
mungkin juga dikampung lain. Masalahnya tak jauh beda, kesejahteraan yang tak
bersedia merata.
Kembali soal
Anto. Aku yakin ia belum punya hutang. Selama ini ia punya banyak uang untuk
hidupnya dan keluarganya. TV ada, PS juga ada. Apa yang kurang untuk anak
sekecil dia? Soal pacar? Ia terlalu kecil untuk bicara itu. Mula-mula aku
bertanya pada diriku sendiri, kenapa ia setega itu padaku di akhir cerita. Tapi
akhirnya aku tahu.
Suatu hari,
seperti biasa. Aku lari dari rumah untuk menghindari melayangnya sandal emak. Malas
mengamen, Tapi cacing di perutku beraksi. Kamu tau apa solusiku? Tentu saja Anto’.
Tak sulit mencarinya, tak lebih sulit dari mencari istri solehah. Karena kami
teman, tentu bertele-tele untuk meminjam uang adalah rumus yang salah. Tapi
kala itu wajahnya berbeda, agak merah dan janggal, lalu menggerutu.
“Utang terus!”
Bibirnya manyun. Tapi menyodorkan uang 20 ribu.
Aku tersenyum
untuk menenangkan perasaannya. Aku tak ingin tersinggung, ia penolongku. Aku
mengusap kepalanya sambil berkata. “Kapan-kapan aku bayar, pasti!.” Lalu melenggang
meninggalkannya.
Tapi entah ada
angin apa. Dalam perjalanan menuju warung, tiba-tiba perempuan dibelakangku
berteriak maling sambil menunjukku. Aku berhenti, menolah ke berbagai arah.
Orang-orang berlari ke arahku dengan kencang. 1, 3, 5, 8, 11. Sebelas orang
kini ke arahku dengan derap kaki cepat. Hanya satu yang ada dalam pikiranku,
Lari.
Kaidah The
Power of Kepepet akan manjur dalam hal ini. Lariku seperti kuda. Tak tahu
kekuatan apa yang mendorongku berlari sekencang ini. orang-orang itu terlalu
berperut besar untuk mengejar remaja yang mencari lanjutan hidup. Benar kata
guruku “Di saat terhimpit, kekuatan dalam dirimu akan muncul dengan nalurinya”.
Guruku benar
dalam hal ini, sayangnya ia tak pernah berkata “Kamu akan selalu aman ketika
tersudut”. Sayang sekali.
Semakin jauh aku
berlari, semakin banyak yang mengejarku. Tak hanya dari belakang, orang-orang
dari arah samping pun ikut berkari mengejarku setelah mendengar kata “maling”.
Asem, kata “maling”
kali ini lebih mengerikan dari kata putus yang diucapkan seorang perempuan dari
bibirnya yang manis.
Aku menoleh ke
belakang, ada sekitar 30 orang yang mengejarku. Sial, aku lengah ketika
itu. Trotoar pinggir jalan yang berlubang cukup menganga menjegal kakiku. Kalau
aku Gareth Bale, jegalan seperti itu tak akan membuatku kehilangan
keseimbangan. Tapi aku? Aku bukan pemain akademi Real Madrid yang diajari
sepakbola dengan profesional. Aku hanya pemain sepakbola jalanan yang bermain
ketika jalan raya ketika lengang. Itu pun tak berlari, lapangannya terlalu
sempit. Gedung-gedung menggusur lahan anak kampung bermain. Lalu di dalamnya
dijadikan tempat bermain pula, futsal, bulu tangkis, basket. Tapi bayar,
dan....mahal!
Maka, akupun
tersungkur. Karena aku bukan Gareth Bale, atau Lionel Messi yang dalam keadaan
seperti itu masih bisa meliuk-liuk mempertahankan keseimbangan. Wajahku membentur
lantai trotoar. Setelah itu, ya....Kamu tentu tahu sendiri. Tapi satu hal saat
itu yang bisa aku pelajari soal lobangnya trotoar, mungkin juga lobang jalanan.
Fungsionis alternatif, aku menganggapnya demikian. Untuk menjegal maling dan
orang yang dianggap maling.
Andai aku bisa memilih. Aku akan memilih
pingsan duluan ketika wajarku membentur lantai. Sebelum orang-orang dengan
trengginas menghajarku. Memuaskan hasrat atas emosi mereka. Aku kira saat itu
bukan hanya karena aku –dianggap- maling yang membuat mereka trengginas
menghajar. Mungkin juga karena pelampiasan emosi mereka terhadap masalah lain. Hutang,
dimarahi emaknya sepertiku, bayaran belum cair, diputus pacar, atau
membayangkan aku adalah koruptor. Bisa jadi.
Mereka tak
mengonfirmasi dulu sebelum menghajarku. Ini lebih kejam dari emakku. Aku babar
belur, nafasku tersengal. Saat nafasku hampir terhenti itulah, Anto datang.
Pahlawanku, dulu. Ia dalang dari semua ini,
Perempuan itu meneriakiku maling karena dibayar Anto’. Ia tiba-tiba jadi
monster.
“Tak akan ada
lagi yang hutang padaku. Kamu berjanji akan melunasi hutangmu, tapi sampai
sekarang tak juga membayar. Tapi tenang, kini lunas sudah, kamu membayar
hutangmu dengan nyawa” Ia berbisik di telingaku. Anak sekecil itu sudah paham
hal seperti itu, sekejam itu. Politisi mana yang mengajari? Atau ayahnya sudah
membekalinya jiwa politisi busuk yang kental? Aku juga tak tahu. Ludahku sudah
ingin muncrat ke wajahnya. Tapi tak sanggup, kekuatanku habis. Aku menutup
mata. Dan kini, aku bertemu denganmu.
Aku mengadu ini
padamu, Tuhan. Kalau aku bukan maling. Sumpah! Ini ceritaku yang sesungguhnya.
Aku tidak mengedit sedikitpun. Tak ada redaktur atau editor yang mengurangi
apalagi menambah-nambah cerita. Maka aku datang kesini sendiri, menghadap, tidak
titip bicara, agar cerita lebih orisinil dari mulutku sendiri. Satu hal saja, agar
kamu percaya, aku bukan maling.
Aku Cuma hutang.
Sumpah! Aku Cuma berhutang! Juga sekaligus membawa niat membayarnya. Aku tak
punya uang, emak juga tak punya. Kamu kan penyayang, pengasih. Apa toh kamu
tega memasukkanku ke neraka karena aku hutang lalu dituduh maling, dan akhirnya
mati.
Hukum di
negaraku sudah tak adil dan pilih-pilih dalam memberi hukuman. Apa disini saya
juga akan mendapat ketidakadilan juga? Ndak ya? Tuhan kan Maha pengampun, Tuhan
kan Maha adil, Tuhan kan baik, iya kan? Saya ndak kuat neraka, Tuhan. Kata
bapak Tebe, neraka itu panas, ngeri, menakutkan. Jangan nggeh Tuhan.
Ndak usah masuk neraka nggeh? Tuhan baik deh.
Salam