Salah satu cara terbaik dan termudah yang
bisa kita lakukan adalah menulis. Kita tidak perlu mental untuk mengemukakan
argumentasi kita seperi halnya berbicara. Dan skala penyampiannya pun mampu
lebih luas, seperti membuatnya menjadi buku, mengirimkan ke media masa atau
mempublikasikannya di blog.
Bahkan tak jarang orang yang benar-benar
menyelami seluk beluk keilmuan demi membaiknya kehidupan diri sendiri dan
kebanyakan manusia. Dan kita mengenal banyak penulis yang memiliki wawasan
sangat luas dalam hal keilmuan. Etos kepenulisan orang-orang yag produktif
dalam menulis dan memberi wawasan pada orang yang lain yang sangat patut untuk
dijadikan panutan. Seperti Asma Nadia, Habiburrahman El-shirazy, Raditya Dika,
Andrea Hirata dan berbagai penulis lain yang mendedikasikan hidup mereka untuk
menulis dan kepentingan banyak orang.
Dari golongan Shalafunasshalih, Beliau-beliau
mendedikasikan kehidupan mereka untuk kepentingan umat dan bahkan sangat
produktif dalam menulis buku. Bahkan ulama-ulama saat ini pun juga sangat
produktif dalam menulis buku. Saya membaca deretan buku-buku mereka yang sangat
banyak sekali. Bahkan buku-buku dari para shalafunassholih yang sudah meluncur
dari belasan bahkan puluhan abad yang lalu pun sampai saat ini masih beredar
dan dibaca oleh jutaan manusia.
Saya terkdang heran dengan mereka yang mampu
menulis puluhan bahkan ratusan buku ditengah himpitan waktu dan aktifitas beliau-beliau
yang tentu saja juga sangat padat. Bagaimana waktu mereka dalam menulis yang
tentu terdapat dalam sesak himpitan waktu aktifitas masih mampu terakomodir
dengan sedemikian rupa dan tetap mampu menciptakan karya yang luar biasa.
Apa rahasia dibalik etos kepenulisan mereka
yang sedemikian hebat. Tentu tekad mereka dalam menulis sangat luar biasa.
Bukan sebuah mimpi apabila kita ingin seperti mereka. Namun juga harus menekan
kemalasan kita dalam menulis hingga sedemikian rupa. Apalagi untuk penulis yang
masih dalam tahap awal. Biasanya sering diselimuti kebosanan dalam menulis. Hal
ini harus terus diperangi demi terciptanya sebuah etos kepenulisan yang
menggebu-nggebu seperti para penulis yang terlah menciptakan sebuah karya yang
dipersembahkan untuk berbagai kalangan.
Ayahanda dari K.H. Ahmad Musthofa bisri (Gus
Mus) melakukan siasat yang luar biasa ketika menulis buku. Beliau bertutur
kepada seorang kiai yang berdiskusi dengan beliau.
“saya kok mudah bosan ya kalau menyusun
kitab?” tanya kiai tersebut pada K.H. Bisri Musthofa. Ayahanda dari Gus Mus.
“jenengan (kamu) niatnya menulis karena
Allah, sih!” jawab K.H. Bisri Musthofa
“lho, memangnya harus bagaimana? Bukankah
kita melakukan segala sesuatu harus karena Allah?” tanya Kiai itu kaget.
“kalau saya menyusun kitab, tidak saya niati
karena Allah. Tapi saya niati mencari uang. Nah, pas mengirim ke penerbit. Baru
saya niati mencari Ridhlo Allah. Sebab, kalau dari awal kita niat karena Allah.
Kita akan terus digoda oleh syetan dan menghilangkan semangat kita dalam
menulis karena Allah tersebut. Tapi ketika di awal kita niati untuk mencari hal
yang dianggap sebagai hal yang tidak bersifat ibadah. Maka syetan merasa aman
dengan apa yang kita kerjakan dan dogaan pun semakin ringan. Syetan juga perlu ditipu”
Masyaallah. Alangkah luar biasanya para ulama
dan penulis yang bahkan tidak hanya etos kerja yang kedepankan demi terciptanya
sebuah karya yang bermanfaat, bahkan sampai menggunakan siasasat yang dapat
memperlancar kepenulisan yang digeluti.
Alangkah mulia orang yang dapat memberi
manfaat bagi orang lain, lewat ucapan, tulisan dan hal-hal yang mampu
menjadikan orang lain sebagai manusia yang sukses dunia akhirat. Dan mampu
memberikan efek positif pada yang lain.
“hidup memang
sementara
Tapi karya
selamanya”
Iwan Fals
Salam