Mohon cerita
kali ini tidak merubah sedikitpun sikap anda sekalian kepada saya.
Ya..ya...masa kecil saya memang cukup memprihatinkan. Tapi yakinlah, saya sudah
bertaubat. Beberapa kali hampir membunuh orang, dan untungnya, sampai saat ini
saya masih hidup dan belum pernah sekalipun dipenjara. Kenyataan yang cukup
bagus.
Dulu waktu
kecil, saya memang punya kebiasaan yang cukup buruk. Umumnya anak kecil,
berantem. Tiap kali ada yang niat berkelahi, tentunya yang seumurnya sebaya, pasti
datang dulu ke "padepokan semedi" saya. Mereka akan memberikan ruang terdepan
kalau-kalau saya bersedia untuk bergabung dengan mereka. Dan waktu kecil dulu,
ketika darah muda masih mengalir deras, maka, saya pun tak sulit untuk
menerima, seperti menerima tawaran-tawaran sebelumnya. Hanya dengan bayaran
kepuasan. Ya, kepuasan. Salah satu yang saat ini sangat saya hindari.
Itu salah satu
sisi buruk saya waktu kecil. Masih banyak yang lain, dan sekali lagi, tak perlu
takut, saya sudah bertaubat.
Oke, itu cuma
sebagai pengantar cerita. Jadi waktu kecil, sepakbola, layangan, bluron (berenang
disungai) menjadi hobi yang keren. Dan permainan-permainan lain yang
sifatnya memacu adrenalin.
Contoh: Terjun bebas dari jembatan yang bawahnya
adalah sungai, panjat tebing, balapan, berkelahi, dan merokok. Yang terakhir
bukan permainan sih, tapi waktu masih kecil, sekitar TK, saya memang lumayan
perokok. Dan sekarang berhenti total, insyaallah.
Ceritanya,
dulu ada anak baru di pondok pesantren depan rumah. Namanya Fajar (nama tidak
disamarkan). Nah, waktu itu hujan sedang deras-derasnya. Saya baru pulang dari
sekolah, yang bebeberapa waktu sebelumya baru menyelesaikan ujian Madrasah
ibtida’iyah (sederajat SD). Karena terserang virus lulusan yang coret-coret
baju dan perayaan-perayaan kelulusan. Saya pun mencoba menirunya dengan
merayakan dibawah guyuran hujan. (Saya tidak tau apa benar waktu didasari oleh
faktor ini ketika memilih untuk hujan-hujanan waktu itu. Semoga tidak!).
Eh, kayaknya
asyik pake bahasa cerpen ya, saya coba. Semoga cocok. Uhuk...ehem.
Langit semakin
gelap. Ia menumpahkan buliran-buliran air hujan. Aku pun sama, mencoba
menumpahkan kepenatan hidup yang semakin hari semakin menumpuk. Dan hujan cukup
menjadi dambaan manusia-manusia galau menumpahkan kekecewaan, dengan sesekali
meneteskan air mata, atau berteriak.
Seharusnya ia
tak perlu menatapku demikian menyedihkan, dan cerita tersebut tak akan pernah
ada. Kamu tau, dari awal tatapannya yang membuatku kasihan itulah, aku harus
mendapat ocehan dari emak. Bayangkan! Dari emak, tidak yang lain. Ia adalah
surga duniaku, dan surgaku memarahiku, bayangkan! Betapa perihnya perasaanmu
jika terjadi padamu.
Tatapan
matanya yang iba dengan nasibnya, khas anak pondok yang baru datang. aku tak tega,
aku tawari untuk bergabung denganku.
“Ikut?”
Ia mengangguk
dan ikut berbaur bersamaku dibawah langit hitam dan hujaman air hujan. Aku tak
bergitu suka dengannya kali ini. why? Ia tak bisa sepakbola. Bola adalah teman.
Itu kata Tsubasa ozora. Dan aku sudah merasakannya dari kecil. Bola selalu aku
bawa, apalagi ketika hujan. Kamu tau, ketika aku mencoba menendang bola
kearahnya. Ia tak bisa menghentikan lajunya, dan ketika ia menendang, arahnya
entah kemana. Itu yang membuatku tak suka.
Bukan salahku
jika aku melihat ada kayu yang hanyut disungai. Entah salah siapa. Aku bermain
diatas jembatan, dan melihat banyak kayu melintas di air sungai adalah hal
lumrah. Menjadi salahku, ketika aku ternyata tertarik untuk mengambil kayu yang
hanyut tersebut.
Lumayan bisa
buat bakar jagung atau diukir, pikirku. Maklum, saat itu aku masih
gandrung-gandrungnya dengan seni gambar dan pahat.
Tanpa pikir
panjang, aku langsung turun ditepian sungai tersebut. Dan salahku, aku tak
berfikir kalau air terlalu deras dan kayu itu terlalu besar untuk dihentikan. Tapi
aku dan anak baru itu terlanjur dihantam arus dan kayu yang tak bisa dihentikan
tersebut. Kita terpelanting. Tubuhku seperti remuk, batu-batu besar menghantam
tubuhku. Sepertinya sudah ada darah yang mengalir dari tubuhku. Tubuhku lemas,
untungnya masih ada tenaga untuk bisa bergerak menepi. Dan, berhasil.
Tapi anak baru
itu, aku khawatir selain tidak bisa sepakbola, jangan-jangan ia juga tak bisa
berenang. Ia masih terbawa arus, aku menikmati pemandangan dari tepi, seorang
anak yang sibuk dengan air dan kayu di tengah hujan.
200 meter dari
tempatku menepi, ia ternyata bisa juga lari dari terjangan arus. Syukurlah ia
bisa.
“Ayo naik!”
Teriakku mengajaknya pulang. Hujan masih turun, dan aliran sungai masih sangat
deras.
“Aku nggak
berani”
Jawaban macam
apa coba? Kita sudah selamat, dan ia tak ingin segera balik, apa-apaan.
“Ayo balik. Sudah
jam segini” Waktu itu sudah jam setengah 3 sore.
“Aku nggak
berani”
Aku ragu,
semoga ia benar-benar laki-laki. Dan jawabannya berhasil membuatku semakin
ragu.
“Ya sudah,
semoga lekas berani naik. Aku mau ngaji”
Berakhirlah kesengsaraanku.
Aku naik dan meninggalkannya sendirian di tepi sungai. Aku punya jadwal mengaji
waktu itu.
Daaan,
ternyata tidak berakhir. Ketika aku pulang dari mengaji, emak sudah menanti
dengan beberapa pertanyaan yang menyudutkanku.
“Fajar dimana?”
Glek, aku
menelan ludah. Jangan-jangan ia belum kembali. Aku hanya diam.
“Dia dicari
banyak orang. Kamu tau kalau dia tenggelam, kenapa tidak bilang ke orang-orang
untuk menyelamatkannya. Kalau dia mati bagaimana?”
Aku cuma bisa
diam. Sedih, campur kecewa. Kenapa juga ia tak berani naik, tinggal naik saja. Kenapa butuh 5 jam untuk bisa naik. Kalaupun ada halangan, bukankah hidup selalu ada halangan. Dan tak berani
bergerak adalah hal bodoh.
Kini aku yang jadi korban kemarahan. Untung
anak baru itu masih hidup.
Emakku masih
berceramah, aku mendengarkan dengan seksama. Aku termangu dalam dudukku,
tertunduk memandang tanah. Kenapa ada air disini?
Ternyata air mataku.
Salam
Moti peacemaker
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Best Artikel Blogger Energy"