Ketika Hatimu Bicara, Menulislah!


Pripun toh. Jangan malah bikin bingung begini toh, mas!”
“Ya ndak bisa begitu. Arturo Barislov harus menulis kembali”
“Ya menulislah, mas!”
“Tapi aku tak punya cerita atau inspirasi untuk dituangkan dalam tulisan”
Alah, bagaimana bisa mendapat inspirasi kalau sampean saja kerjanya Cuma ngopi sama karambol setiap hari” Istrinya jengkel.
Kang Bari punya seorang istri yang cerdas bicara dan menenangkan suaminya yang sering malah mbingungi. Benarlah kata-kata pepapatah “selalu ada perempuan hebat dibalik seorang laki-laki yang sukses”.
Istrinya punya jangkauan pemikiran yang cukup jauh untuk kebaikan suaminya. Ia cukup punya rasa tolerir yang tinggi sebagai sosok seorang istri yang baik. Ia tidak memaksa suaminya menjadi apa, asal segala yang kewajiban tidak teledor. Seperti halnya menulis. Dulu Kang Bari sangat produktif menulis. Ratusan puisi ia tulis untuk sang istri, dalam sehari. Bahkan ketika masih, istilah sekarang PDKT, kang bari bisa menulis sampai 50 puisi  per-jam untuk mengungkapkan rasa cintanya pada Yu Inah, istrinya.
Menulis itu butuh ini, hati. Seperti itulah yang dirasakan oleh sang istri. Segala hal butuh tantangan. Betapa mudah hidup tantangan. Dan betapa tidak menjadi suatu yang mahal apabila menulis pun tidak ada yang harus ditaklukan. Menaklukan rasa malas. Sedang segala hal harus berjalan dan dilandasi dengan ketekunan dan perasaan yang in, pas!
“maaf, dek” Kang Bari selalu nelangsa ketika istrinya ngambek. Meskipun istrinya tipikal “pendiam” ketika ngambek, alias tidak cerewet. Tapi rasa cintanya pada istrinya itu selalu ingin menggubah gurat kengambekan menjadi kasih sayang yang nyata. Meski Yu Inah ngambek dengan kadar yang tidak ekstrem. Tapi Kang Bari selalu berusaha untuk secepatnya merubah keadaan menjadi kondusif. Sebelum kadaluarsa, katanya. Seperti jargon pemilu beberapa waktu yang lalu. Lebih cepat lebih baik!
ndak mau. Sampean ini cerdas tapi disia-siakan. Pelajari kengambekanku. Sampean juga harus cerdas menggali inspirasi. Jangan malas toh, mas”
“iya iya, dek. akan aku coba”
“jangan hanya mencoba, mas. Pelajari sekarang”
“jangan tambah bikin bingung toh, dek!”
“lha sampean malah lebih mumeti. Pengen jadi penulis kok malas nulis. Nggak mau baca buku. Nggak mau belajar dari keadaan. Segala hal butuh konsekuensi. Dan menulis itu pilihanmu. Harus konsekuen toh, mas” Istrinya marah makin parah. Ia sangat paham karakter suaminya tercinta. Cinta pun terkadang butuh emosi untuk meluruskan keadaan. “Ini bukan kemarahan untukmu, mas. Ini sikap untuk membalas sikapmu terhadap kemalasan menulis yang bercokol dalam hatimu. Taklukanlah dengan cintamu padaku” lirih istrinya dalam hati.
“Entahlah. Aku tak mengerti. Ayo kita tidur. Sudah malam”
Yu inah mendesah. Berdo’a.
 “Aku ingin mempelajari segalanya. Tentang keadaan ini. Tentang perasaanmu. Tentang keadaanku. Aku selalu merepotkanmu. Tapi kau cintaku bukan? Aku berterima kasih padamu. Aku ingin mendekap inspirasi. Aku harap engkau pun bisa mendekap mimpi indah malam ini. Mungkin aku bodoh saat ini. Tapi inspirasi akan membuka dunia. Tuhan mencintai orang-orang yang merenung tentang hidup, bukan? Biarkan aku merenung disampingmu. Menikmati aura cintamu” Kang Bari merenung menjelang tidurnya. Hati terbuka. Doa sang istri, atau....cinta. Mungkin!
:::
Bukankah menulis tidak bisa diraih dengan sekali kedip. Menumpuk inspirasi dalam otak, namun malas menuangkan. Jadikah tulisan? Sekalipun otak penuh dengan berbagai pemikiran, lengkap dengan argumen dan dasar yang kuat. Sekalipun inspirasi melangit, tak akan pernah tertuang dalam tulisan begitu saja. Dengan sekali helaan nafas atau membalikkan telapak tangan. Berfikir saja tak cukup. Harus ada kolaborasi antara otak, hati, dan tangan. Dan merangkainya menjadi tulisan.
“Jeleknya tulisan, itu lebih baik. Daripada indah, tapi hanya mimpi”
Jadi intinya harus berani dan punya tekad untuk mengalahkan hawa nafsu yang sering mbateki keinginan untuk menulis. Realisasikan dengan menulis, Kalau bisa produktif, kenapa harus ngadat?
La kang bari saja setelah kembali menulis dan berhasil menaklukan hawa nafsunya. Sekarang sudah jadi orang terkenal. Dulu satu RT masih ada yang ndak kenal. Sekarang,,,,beuuhhh....satu desa kenal semua. Kang Bari menulispun juga ndak niat terkenal. Toh terkenal sendiri, itu nilai plus.
Dan kalau niat menulis hanya untuk terkenal. Betapa memalukknya kita dihadapan tulisan kita sendiri? Think again. Tafkir marrotan ukhro.
This is not Imposible
Keep writing, keep blogging

“Setiap kata yang kau tuangkan tidak akan pernah menjadi seperti kertas yang terbakar dan lenyap tak tersisa. Segalanya akan menjadi mata air baru dalam setiap jengkal ukiran pemikiran yang akan dituangkan kembali pada suatu saat. Tak pernah ada yang sia-sia dari menulis”
Salam

12 komentar:

  1. guys guys, apik e
    aku jadi inget bahasa cerpen di suatu koran kalau baca ini
    alurnya alus, tapi mengena

    bener banget, lebih baik jelek, tapi udah berbentuk tulisan, daripada bagus tapi cuma mimpi

    toh lama-lama karena biasa yang jelekpun bisa jadi bagus

    BalasHapus
  2. Wah-wah.. tulisannya sangat berbobot nih,,,
    Hal yang berat dikemas dengan hal yang mudah dipahami..
    Aku suka ini, bikin pembaca tetap terjaga menyelesaikan tulisan ini..

    Sip..sip.. mari menebar energy ke orang lain dengan karya-karya.
    Aku setuju dengan gerakan ini, kita hidup untuk berkaya. Menulis sekrang untuk manfaat yang lebih besar suatu saat nanti..

    BalasHapus
  3. Pertama mau bilang, itu judulnya ada typo sedikit :)

    Enak kayaknya punya istri kek gitu jadi alasan buat nulis atau bikin puisi-puisi. Sumpah itu dewa banget, bikin puisi ratusan dalam sehari buat istrinya, pasti isrtinya tersentuh banget.

    Menulis untuk jadi terkenal emang memalukan dan biasanya kalo gak sesuai kehendak terkenal sakitnya nusuk banget, jadi males lagi nulis

    BalasHapus
  4. “Jeleknya tulisan, itu lebih baik. Daripada indah, tapi hanya mimpi”

    Woohooo dapat Bio Twitter baru nih gua, minta kata-katanya ya????!!!

    BalasHapus
  5. istrinya kang bari hebat. walau dengan kengambekannya dan emosinya, namun dia berusaha keras melumpuhkan kemalasan suaminya.
    memang jika sudah memilih untuk menekuni sesuatu, maka harus siap untuk konsisten melakukannya. mengharapkan ketenaran memang tidak akan pernah baik akhirnya. melakukan segala sesuatu dengan ikhlas lebih akan membuahkan kepuasan hati.

    BalasHapus
  6. baca ini serasa ditampar pacarnya mantan men, sakit :( iya aku sering banget kaya kang Bahri, otak pengen nulis ini itu, tapi ya itu si malas datang terus menerus. Dan yah itu balik ke kita lagi gimana nyikapin malas itu, pokoke semangat! Jadi ngarep punya pasangan kaya Yu Inah yang mau terus nyemangatin buat produktif nulis lagi :D

    BalasHapus
  7. Tadinya bingung mau komentar apa. Soalnya enggak jelas ini cerpen atau apa. Di akhirnya, oh tentang menulis. *baru ngeh

    Semoga apapun motifnya, apapun inspiasinya, menulis tetap harus dilakukan. Meski kadang merasa malu karena tulisannya masih berantakan. Lebih malu kalau tidak berani menulis, padahal sudah ada ide. Keep fighting spirit^^

    BalasHapus
  8. Ini inspiratif banget bang moti, tapi sejujurnya ada rasa jengkel sedikit sih sama karakter sang istri yang semacam itu hahahaha. Tapi gapapa, dia selalu berusaha ngasih nasihat biar suaminya lebih maju lagi, enggak bermalas - malasan menunda - nunda.

    Well awalnya aku kira ini cerpen atau semacamnya, tapi kelihatannya bukan ya ?
    Good, menulis dari hati, bukan dari seberapa banyak orang yang akan mengenal alias kita terkenal nantinya :D

    BalasHapus
  9. Dalam sih ini. Pengen jadi penulis tapi malah malas nulis.

    Sebaiknya memang menulis bukan untuk terkenal, menulislah karena kecintaan akan seni dan semangat ingin berkarya. Itu sih yang coba aku pahami dan tanamkan. Terakhir dari tulisanmu yang diatas, aku mengutip...

    "Dan betapa tidak menjadi suatu yang mahal apabila menulis pun tidak ada yang harus ditaklukan. Menaklukan rasa malas."

    BalasHapus
  10. ini semacam cerpen yang nyentil banget buat orang-orang yang punya mimpi jadi penulis tapi males nulis. Keren nih Mot.. tulisannya rapi. hampir gak ada typo, bikin betah bacanya...

    gue takjub sama Kang Bari, sejam bisa bikin hampir 50 puisi :D
    juooz... begitu udah masuk zona nyaman, akhirnya jadi susah lagi mau nulis..

    yang terakhir Alitt Susanto juga mengamini.. nulis itu usahain lebih mementingkan manfaatnya daripada royalti dan popularitas...

    Kapan kamu bikin buku sendiri nih Mot? ~

    BalasHapus
  11. ini ni keren nih.. cerpen dengan banyak hikmah dan pelajaran yang bisa di ambil, keren2 bang mot.. daleeeeeem ! secara ga langsung orang2 yang mulai males nge blog kan serasa kesindir gitu wkwk

    emang bener si bergerak nya jari2 tangan kita buat nulis tu emang hasil dari perpaduan bnyak hal, mulai dari hati.. ide.. otak.. mood juga.. quote yang terakir itu paling keren, cakep !

    BalasHapus
  12. istri yang luar biasa! :D beruntung banget deh..

    saya suka konsep nya dengan menampilkan cerita pendek diawal kemudian intisarinya

    menulis itu sebenernya asik, cuma kadang kesibukan yang lain bikin ga sempet utk nuangin ide yang udah numpuk ke tulisan. kembali ke manajemen waktunya sih *ceileee*

    ketika sesuatu ga bisa kita sampaikan dg berbicara, maka tulislah :)

    BalasHapus