Maka jalanan adalah gamezone gelandangan. Tak
banyak yang tahu, sekolah terkadang bukan impian anak jalanan. Dan dengan
berani, kami akan menolak tawaran mereka untuk menyekolahkan para gelandangan
seangkatanku. Kami akan berkata
“kami tidak ingin bermain disekolah.”
Tapi memang belum ada juga yang menyatakan ingin
menyekolahkan kami. Dan apabila ada, tetap akan kami hargai keperdulian mereka.
Namun tetap pula akan kami nyatakakan “kami tidak mau bermain di sekolah.” Lalu
salah satu dari kami akan ada yang berkata,
“Ehem, utuhannya saja.”
Lantas kami menoleh kepadanya sebab ucapannya tersebut,
seolah hal tersebut belum terencana sebelumnya. Dan kami memang lebih suka
uang. Eh, lebih butuh uang.
“Yang aku tau, sekolah bukan tempat bermain, dan kami
ingin bermain. Yang bermain-main di sekolah adalah mereka yang bermain-main
dengan hidup. Dan yang bermain-main di tempat bermain adalah mereka yang
menghayati peran kehidupan. Kami bermain di tempat bermain, kami meresmikan
jalanan sebagai tempat bermain. Maka kamilah sebenarnya yang menghayati hidup.”
Begitulah Hamid pernah bertutur.
Suatu hari kami sok bermimpi seperti anak sekolah.
Dari botol kratingdeng mimpi-mimpi itu dibawa angin.
“Jin akan segera keluar dari botol ini, diharapkan untuk menyebutkan
angan-angan masa depan. ting...ting ting...ting.ting..ting....” Pudin menirukan
suara pengumuman di stasiun keberangkatan solo. Lengkap dengan suara belnya
yang khas. Kami semua tertawa.
“Aku ingin menjadi pegawai jasa marga. Akan aku buat
lampu merah menjadi 500 detik agar para gelandangan bisa dengan leluasa
bekerja” Dapid berkata sambil memejamkan mata dan disambut riuh semangat
anak-anak yang lain.
“Aku, aku,,,,,Akan aku jadikan Indonesia negari
gelandangan. Kita ekspor pejabat ke luar negeri, sebab mereka sudah tidak punya
kamampuan memimpin bangsa. Biar mereka merusak negara orang saja, ahahahhaha”
semua tertawa “Para TKI, TKW, kuli, petani, dan gelandangan akan menjadi sentra
pergerakan negara sebab punya etos kerja” Lanjut Hamid bersemangat.
“Ternyata kamu agak pinter juga, mid” sahut Pudin. “Kalau
aku, akan aku pacari artis-artis yang cantik-cantik”
“Eh, kenapa ingin jadi pacar mereka?” Hamid menimpali
cepat. Ia yang paling kritis diantara kami.
“Ya, kan enak bisa pacaran dengan perempuan-perempuan
cantik. Gandengan tangan, kemana-mana bareng, dan yang parah-parah lainnya”
Pudin bangga dengan mimpinya. Ia manggut-manggut setelah mengemukakan
argumentasi tentang mimpi yang ia punya.
“Kenapa ndak menikah saja kalau ingin yang
“parah-parah”?”.
“bodoh sekali kamu ini, mengurus pernikahan itu ribet,
percerainnya juga sulit. Pacaran tinggal bilang “pacaran yuks!” lalu “kita
putus”. Dan nanti bisa ganti pasangan yang lain. lalu putus lagi, ganti lagi.
Begitu seterusnya”
“Tapi pacaran kan ndak sah statusnya dalam hukum
negara, lho!” Hamid kembali melontarkan sanggahan.
“Iya, benar itu” Respon Dapid cepat menanggapi Hamid yang
menurutnya lebih logis.
“kamu ini, jadi
gelandangan sudah bertahun-tahun masih saja bodoh. Berita di koran-koran
perempuan hamil diluar nikah dan laki-lakinya tidak tanggungjawab itu seperti
kata dalam kamus. Banyak! Apa gunannya ilmu kalau ndak dipake. Kita
harus belajar dari pengalaman orang lain. Dari mereka yang bisa lolos dengan
mengatakan ke polisi kalau keluarganya melaporkan, “kita melakukan sama-sama
suka”, dan beres. Kamu harus tau, polisi mungkin sudah bosan dengan
permasalahan dan pelaporan hal seperti itu setiap hari. Ia mungkin akan
mencatat sekenannya. Harusnya cerpen AS Laksana berjudul Rashida Chairani sudah kamu baca. Agar kamu tau, polisi juga punya malas. Toh
tak ada pasal yang menjerat juga, yang ndak boleh itu memperkosa. Kecuali kalau
negara ini akan muncul pasal perzinahan, itu lain lagi”
“Kamu kriminal, din! Apa bedanya sama pejabat kalau
berfikirmu seperti itu” Hamid menghardik seperti tidak sedang berurusan dengan
sahabatnya sendiri. Pudin lempeng saja.
Dan.....mereka semua mamandangku, tajam. Seolah berkata
“cepat katakan mimpimu!”
“Aku tak berani” Jawabku sambil beranjak untuk kembali
bekerja. Maaf, maksudku kembali menggelandang. Mereka memandangku kecewa.
(***)
Nyali gelandangan mungkin boleh lebih kecil untuk bicara
soal masa depan. Tapi kami tak cukup takut untuk mengatakan kami punya mimpi.
Aku membaca di koran, semua orang berhak bermimpi. Aku juga membaca di kaca
belakan sebuah mobil yang berhenti di lampu merah “Bermimpilah. Bermimpilah
setinggi mungkin”. Itu berarti kami pun boleh bermimpi. Aku belum pernah
melihat di kaca mobil, “gelandangan haram bermimpi”. Di koran juga belum pernah
muncul fatwa demikian dari MUI. Meski kami mulai takut, majelis tersebut
membahas soal ini dan mengharamkan segala mimpi yang sudah tertata di otak kami
masing-masing. Mungkin saja. Sebab kata Hamid, dari koran yang ia jual
mengatakan MUI mengharamkan golput. Kata hamid lagi,
“Seharusnya MUI tidak bersikap demikian. Semua orang
punya hak memilih, dan semua orang punya hak pula untuk punya pilihan tidak
memilih. Sebab faktanya, ada atau tidaknya mereka, tetap menjadikan orang tua
kita sebagai pemulung.” Itu kata Hamid, bukan kataku. Tapi aku lebih baik
setuju. Hamid lebih mengerti politik dariku, dan yang terpenting, dia temanku.
Kami sepakat punya mimpi. Aku pun pun punya mimpi, aku
sudah mengatakan pada mereka, aku punya mimpi. Tapi aku tak berani mengatakan.
Dan mereka mengerti. Aku yakin mereka paham karakterku, sudah bertahun-tahun
kami bersama di jalanan, sudah 10 tahun, sejak umur 5 tahun kami terjun ke
jalanan untuk bermain dan mencari makan. Sebab pernah suatu hari aku kentut dan
tak bilang pada mereka. Mereka bertanya-tanya, siapa? Tak ada yang mengaku. Aku
juga tidak mengaku. Aku malu. Tapi 1 tahun berselang, di tanggal dan bulan yang
sama –seperti acara tahunan pacaran yang spesial- akupun mengaku juga tentang
kejadian itu.
bersambung ---->>
jadinya cerbung ya mas
BalasHapusluar biasa dalam satu cerita langsung banyak amanat di dalamnya
dan ini malah kayak bukan pemikiran seorang gelandangan lagi.. taoi oemikiran bijak dari orang sukses
Iyes mot, semua berhak bermimpi karena mimpi itu gratis!! Dri pejabat sampe pengamen apapun jga bisa bermimpi..tapi yg ddinget ga cuman berhenti sampe bermimpi, tpi juga bangun setelah bermimpi itu menghidup mimpi itu. Nice story!!
BalasHapus