Impian Tepi Jalan (1)


Maka jalanan adalah gamezone gelandangan. Tak banyak yang tahu, sekolah terkadang bukan impian anak jalanan. Dan dengan berani, kami akan menolak tawaran mereka untuk menyekolahkan para gelandangan seangkatanku. Kami akan berkata
“kami tidak ingin bermain disekolah.”
Tapi memang belum ada juga yang menyatakan ingin menyekolahkan kami. Dan apabila ada, tetap akan kami hargai keperdulian mereka. Namun tetap pula akan kami nyatakakan “kami tidak mau bermain di sekolah.” Lalu salah satu dari kami akan ada yang berkata,
“Ehem, utuhannya saja.”
Lantas kami menoleh kepadanya sebab ucapannya tersebut, seolah hal tersebut belum terencana sebelumnya. Dan kami memang lebih suka uang. Eh, lebih butuh uang.
“Yang aku tau, sekolah bukan tempat bermain, dan kami ingin bermain. Yang bermain-main di sekolah adalah mereka yang bermain-main dengan hidup. Dan yang bermain-main di tempat bermain adalah mereka yang menghayati peran kehidupan. Kami bermain di tempat bermain, kami meresmikan jalanan sebagai tempat bermain. Maka kamilah sebenarnya yang menghayati hidup.” Begitulah Hamid pernah bertutur.
Suatu hari kami sok bermimpi seperti anak sekolah. Dari botol kratingdeng mimpi-mimpi itu dibawa angin.
“Jin akan segera keluar dari botol ini, diharapkan untuk menyebutkan angan-angan masa depan. ting...ting ting...ting.ting..ting....” Pudin menirukan suara pengumuman di stasiun keberangkatan solo. Lengkap dengan suara belnya yang khas. Kami semua tertawa.
“Aku ingin menjadi pegawai jasa marga. Akan aku buat lampu merah menjadi 500 detik agar para gelandangan bisa dengan leluasa bekerja” Dapid berkata sambil memejamkan mata dan disambut riuh semangat anak-anak yang lain.
“Aku, aku,,,,,Akan aku jadikan Indonesia negari gelandangan. Kita ekspor pejabat ke luar negeri, sebab mereka sudah tidak punya kamampuan memimpin bangsa. Biar mereka merusak negara orang saja, ahahahhaha” semua tertawa “Para TKI, TKW, kuli, petani, dan gelandangan akan menjadi sentra pergerakan negara sebab punya etos kerja” Lanjut Hamid bersemangat.
“Ternyata kamu agak pinter juga, mid” sahut Pudin. “Kalau aku, akan aku pacari artis-artis yang cantik-cantik”
“Eh, kenapa ingin jadi pacar mereka?” Hamid menimpali cepat. Ia yang paling kritis diantara kami.
“Ya, kan enak bisa pacaran dengan perempuan-perempuan cantik. Gandengan tangan, kemana-mana bareng, dan yang parah-parah lainnya” Pudin bangga dengan mimpinya. Ia manggut-manggut setelah mengemukakan argumentasi tentang mimpi yang ia punya.
“Kenapa ndak menikah saja kalau ingin yang “parah-parah”?”.
“bodoh sekali kamu ini, mengurus pernikahan itu ribet, percerainnya juga sulit. Pacaran tinggal bilang “pacaran yuks!” lalu “kita putus”. Dan nanti bisa ganti pasangan yang lain. lalu putus lagi, ganti lagi. Begitu seterusnya”
“Tapi pacaran kan ndak sah statusnya dalam hukum negara, lho!” Hamid kembali melontarkan sanggahan.
“Iya, benar itu” Respon Dapid cepat menanggapi Hamid yang menurutnya lebih logis.
“kamu ini, jadi gelandangan sudah bertahun-tahun masih saja bodoh. Berita di koran-koran perempuan hamil diluar nikah dan laki-lakinya tidak tanggungjawab itu seperti kata dalam kamus. Banyak! Apa gunannya ilmu kalau ndak dipake. Kita harus belajar dari pengalaman orang lain. Dari mereka yang bisa lolos dengan mengatakan ke polisi kalau keluarganya melaporkan, “kita melakukan sama-sama suka”, dan beres. Kamu harus tau, polisi mungkin sudah bosan dengan permasalahan dan pelaporan hal seperti itu setiap hari. Ia mungkin akan mencatat sekenannya. Harusnya cerpen AS Laksana berjudul Rashida Chairani sudah kamu baca. Agar kamu tau, polisi juga punya malas. Toh tak ada pasal yang menjerat juga, yang ndak boleh itu memperkosa. Kecuali kalau negara ini akan muncul pasal perzinahan, itu lain lagi”
“Kamu kriminal, din! Apa bedanya sama pejabat kalau berfikirmu seperti itu” Hamid menghardik seperti tidak sedang berurusan dengan sahabatnya sendiri. Pudin lempeng saja.
Dan.....mereka semua mamandangku, tajam. Seolah berkata “cepat katakan mimpimu!”
“Aku tak berani” Jawabku sambil beranjak untuk kembali bekerja. Maaf, maksudku kembali menggelandang. Mereka memandangku kecewa.
(***)
Nyali gelandangan mungkin boleh lebih kecil untuk bicara soal masa depan. Tapi kami tak cukup takut untuk mengatakan kami punya mimpi. Aku membaca di koran, semua orang berhak bermimpi. Aku juga membaca di kaca belakan sebuah mobil yang berhenti di lampu merah “Bermimpilah. Bermimpilah setinggi mungkin”. Itu berarti kami pun boleh bermimpi. Aku belum pernah melihat di kaca mobil, “gelandangan haram bermimpi”. Di koran juga belum pernah muncul fatwa demikian dari MUI. Meski kami mulai takut, majelis tersebut membahas soal ini dan mengharamkan segala mimpi yang sudah tertata di otak kami masing-masing. Mungkin saja. Sebab kata Hamid, dari koran yang ia jual mengatakan MUI mengharamkan golput. Kata hamid lagi,
“Seharusnya MUI tidak bersikap demikian. Semua orang punya hak memilih, dan semua orang punya hak pula untuk punya pilihan tidak memilih. Sebab faktanya, ada atau tidaknya mereka, tetap menjadikan orang tua kita sebagai pemulung.” Itu kata Hamid, bukan kataku. Tapi aku lebih baik setuju. Hamid lebih mengerti politik dariku, dan yang terpenting, dia temanku.

Kami sepakat punya mimpi. Aku pun pun punya mimpi, aku sudah mengatakan pada mereka, aku punya mimpi. Tapi aku tak berani mengatakan. Dan mereka mengerti. Aku yakin mereka paham karakterku, sudah bertahun-tahun kami bersama di jalanan, sudah 10 tahun, sejak umur 5 tahun kami terjun ke jalanan untuk bermain dan mencari makan. Sebab pernah suatu hari aku kentut dan tak bilang pada mereka. Mereka bertanya-tanya, siapa? Tak ada yang mengaku. Aku juga tidak mengaku. Aku malu. Tapi 1 tahun berselang, di tanggal dan bulan yang sama –seperti acara tahunan pacaran yang spesial- akupun mengaku juga tentang kejadian itu. 


bersambung ---->>

2 komentar:

  1. jadinya cerbung ya mas

    luar biasa dalam satu cerita langsung banyak amanat di dalamnya

    dan ini malah kayak bukan pemikiran seorang gelandangan lagi.. taoi oemikiran bijak dari orang sukses

    BalasHapus
  2. Iyes mot, semua berhak bermimpi karena mimpi itu gratis!! Dri pejabat sampe pengamen apapun jga bisa bermimpi..tapi yg ddinget ga cuman berhenti sampe bermimpi, tpi juga bangun setelah bermimpi itu menghidup mimpi itu. Nice story!!

    BalasHapus