Salah
satu bentuk pengabdian ulama’ dalam agama adalah memberikan pencerahan dan
menumbuhkan pengetahun serta kesadaran untuk dapat mewujudkan manusia sebagai abdun yang berkualitas. Sebagai warosatul Anbiya’, ulama punya
tanggungjawab sebagian dari tugas para Nabi. Ulama’ bukan profesi apalagi
pekerjaan. Ini yang harus digaris bawahi atau bahkan harus blok tebal
untuk menunjukkan bahwa ke-ulama’an bukan ladang komersil.
Sebuah
fenomena mengejutkan ketika seorang ulama –keterangan ulama’ model ini secara
lebih lengkap akan diterangkan di bawah tulisan ini- memasang tarif dalam
acara ceramah, pengajian, mau’idhoh, dan lain-lain. Atau menentukan
tarif minimum sebagai nilai paling rendah upah ceramah. Kalau ulama’ sebagai
pembimbing umat ternyata punya otak kapitalis, bagaimana dengan umatnya? Hal
ini mungkin sering kali dilalaikan, yaitu adanya kontak “metafisika” antara
perilaku ulama’ (dianggap ulama’. red) dengan masyarakat secara umum.
Sikap masyarakat menunjukkan kualitas para ulama’nya.
Ulama’
ada untuk memberikan bimbingan kepada umat secara serius. Ulama’ harus bisa
mengontrol diri dari berbagai aktivitas pergumulan yang tidak memberikan
manfaat pada umat dan perkembangan Islam secara keseluruhan. Atau bahkan yang menyengsarakan
umat serta menjadikan permasalahan agama semakin keruh. Mendapat anggapan
sebagai ulama’ harus membuat sadar diri. Ada tanggungjawab yang mesti diemban.
Memanfaatkan momen untuk keuntungan pribadi tentu bukan sebuah ciri dari waritsatul
Anbiya’.
Orang
di zaman sekarang telah terkikis keinginannya untuk mempelajari agama. Namun
ketika sebagian orang ingin memperdalam agama, para ulama malah mengikisnya dengan
mahalnya tarif yang dipasang. Bahkan ada cerita, seorang ulama
menghitung tarif berdasarkan kalkulasi buku-buku yang dibeli, yang notabenenya
ia anggap sebagai penunjang kualitas ceramah. Ini tentu sebuah kejadian yang
aneh dalam perkembangan Islam.
Satu
cerita, ada seorang ulama’ –penceramah- yang diundang di salah satu lembaga.
Setelah penceramah tersebut diberikan uang sebagai imbalan ceramah. Ternyata
penceramah tersebut merasa kurang dengan imbalan uang yang diberikan oleh
panitia dengan mengatakan,
“Kalau
ini, untuk bensin perjalanan kesini saja tidak cukup”
Panitia
yang merasa disinggung pun bergerak cepat dengan mencari tambahan demi menambah
uang imbalan untuk sang penceramah.
Tentu
ini sangat-sangat tidak bijaksana. Ulama’ mendapatkan derajat yang luhur dihati
umat. Bahkan di Indonesia, ulama’ seolah menjadi icon penting masyarakat dan di
agung-agungkan. Tapi ternyata ulama’ saat ini menjadikan momen tersebut sebagai
pemanfaatan keadaan demi keuntungan pribadi.
Ini
sangat jauh berbeda dengan ulama dahulu, yang bahkan rela mengeluarkan uang
demi perkembangan dakwah Islam. Dan sebagian ulama’ saat ini mengikisnya tanpa
ragu-ragu. Suatu saat, pesona ulama akan pudar dimata masyarakat. Sebab
matrealisme yang ditunjukkan tentu membuat masyarakat merasa punya sekat dengan
ulama’.
Masyarakat
ingin bimbingan Islam secara serius. Ini yang membedakan ulama sekarang dan
ulama’ dahulu. Ketika masyarakat sibuk dengan problemnya, ulama’ sedang asyik
bergumul dengan pejabat. Sedang ulama terdahulu selalu menjadi tempat bernaung
segala permasalahan yang terjadi di masyarakat. Sedikit-sedikit uang ini
membuat masyarakat merasa tidak mendapat tempat lagi. Sedang ulama dahulu
melakukan segala cara untuk memberikan jalan keluar, sekalipun hal tersebut
harus mengorbankan harta, bahkan nyawa.
Jika
K.H. Hasyim Ashary tidak punya jiwa
sosial ketika itu, dan tidak perduli dengan bangsa serta masyarakat. Tak akan
pernah muncul Resolusi Jihad. Juga tidak akan pernah ada perjuangan melawan
penjajah, sebab bisa saja K.H. Hasyim Ashary membelot pada penjajah untuk
kepentingan pribadi.
Ketulusan yang luar biasa ulama’ dahulu kini
hanya diwariskan pada ulama’-ulama’ terpilih. Semoga Allah memberikan ridho
dengan ulama’ yang benar-benar mengabdi untuk masyarakat. Dan Allah menyadarkan
mereka yang belum sadar. Amiin.
Salam
Moti
Peacemaker
Sesungguhnya
berbeda antara ulama’, kiai dan yang lain. Untuk mengamankan posisi ulama’ yang
berbeda dengan yang lain. Sesungguhnya kasus di atas tidak pantas dilakukan
oleh ulama’ dan muskil terjadi. Maka kata ganti yang paling tepat untuk ulama
yang seperti itu adalah penganjur agama. Bukan ulama’! Mereka hanya bicara soal
agama dengan praktek yang bisa saja nol besar.
Penggolongan
dalam kotak yang sama antara ulama’ dengan yang lain dikhawatirkan akan menciptakan
persepsi buruk kepada ulama’. Sebab yang dikatakan ulama’ sesungguhnya adalah
mereka yang menggunakan ilmu mereka untuk kemaslahatan dan pengabdian kepada Alloh.
Bisa jadi ustadz adalah ulama’, tapi belum tentu setiap ustadz adalah ulama’. Jadi
kita benahi dulu nalar pikir tentang siapa sesungguhnya ulama’.
Jadi
begitu nggeh, berbeda antara ulama’ dan sekedar penganjur agama. Ulama’
bukan sosok yang hanya bicara, tapi tindakan dan perilakunya mencerminkan
kebaikan seperti yang mereka ucapkan. Sedang penganjur agama bisa hanya sekedar
bicara.
Sayangnya
kita sudah terlanjur menggolongkan ulama’ dengan yang lain dalam derajat yang
sama. Maka penulis gunakan kata ulama’ dalam tulisan di atas agar lebih
tersampaikan. Meski sesungguhnya kurang tepat. Dengan penggolongan tersebut,
efek yang terjadi adalah orang-orang akan serta merta menjustifikasi buruk para
pemuka agama (termasuk ulama’ yang sesungguhnya). Ini tentu efek yang sangat
buruk dalam perkembangan islam. Antipati yang berkembang dikhawatirkan akan
juga berdampak pada antipati pada agama. Na’udzubillah
Wallohu
a’lam.
mungkin akan ada yang bilang. itu rezeki jadi nggak mungkin nolak imbalan. tapi ya juga sih... kok masang tarif
BalasHapussaya jadi penasaran... ikhlaskah mereka setelah ceramah kalau seperti itu.
Wah sampe masang tarif ya...
BalasHapusGa bnget tuh ulama'. Lebih baik copot aja titlenya. Masak ceramah buat bisnis -_-
As usual Mot, you made me think a lot, hahaha...
BalasHapussekarang ngomongin ulama. pas banget kemarin ada halal bi halal juga pake ulama dan terang terangan dia suka bercanda pake pesangon2 gitu...kayakudah biasa...jadi dia bilang, 'ya kan ulama juga manusia, butuh ngasih makan keluarga juga...'