Impian Tepi Jalan (2)

Sebelumnya, --<<Impian Tepi Jalan (1)>>--
Dan benar pula kataku, maksudku harapanku, bukan! bukan! bukan harapan, semacam hal yang memang ditakutkan. Aku tak tau namanya. Intinya masa yang aku takutkan itu terjadi. Ya, seperti itulah. Sulit merumuskannya, dan wajar. Aku gelandangan.
Ehehehe, menjadikan gelandangan sebagai dalih wajar untuk bodoh, itu sering terjadi pada kami. Aku sendiri kadang juga melakukannya, hanya agar orang simpati dengan nasib yang kami derita, dan hal itu bisa memudahkan kami mendapatkan uang mereka. Meski sebenarnya tak separah yang mereka lihat juga. Kami merauk banyak uang dengan menjadi gelandangan. Ya, walaupun terkadang “penarik pajak non-resmi” datang tak diundang. Kalau mau tetap sehat, beberapa uang harus berpindah tangan.
Tapi aku mulai tobat untuk merendahkan diri sebagai gelandangan. Ini karena Pudin, ia terlalu kasar menjadi seorang laki-laki. Semoga ia nanti tak akan melakukan pada istrinya.
“Kenapa orang diluar sana banyak yang sukses ya?” Gumamku suatu hari ketika berjalan di trotoar bersama pudin. Menunggu lampu merah menyala. “Dan tak banyak dari kita yang bisa melakukannya. Mungkin karena kita gelandangan”
Priaaaak, tulang gerahamku ngilu. mungkin mlengse. Pudin menghantam ragangku. Pukulannya telak, aku memegangi dan mengusap daerah yang terasa sakit. Tak tahu gunannya untuk apa, reflek memegangnya saja.
“Sekali lagi kamu merendahkan dirimu sebab menjadi gelandangan. Aku akan lebih kejam dari ini” Pudin berkoar sambil menuding wajahku. Aku tak mengerti ada apa.
Belakangan aku tau, ketika kami berdiskusi sambil menunggu lampu menyala. Ia merasa semua orang punya kesempatan sama untuk meraih mimpi. Gelandangan atau orang akademisi sama saja. Yang kita harus lakukan adalah, menjadi pembunuh yang ulung dengan tekad yang kuat. Itu inti perkataanya yang aku tangkap. Semoga tak salah tafsir. Ia terlalu mbulet kalau sudah bicara.
Kami memang sering berdiskusi kalau sedang menunggu lampu merah menyala. Selalu seperti itu. Kami tak perlu sekolah untuk mengenal warna. Sejak kecil kami diajari 3 warna pilar kehidupan para gelandangan. Merah, kuning, hijau. Merah adalah warna kemenangan kami. Kuning tanda siaga. Kami bisa menangis saat warna lampu hijau tak kunjung padam.
Katanya, “Mimpi diraih bukan karena dari mana kita berasal. Tapi bagaimana kita mengejar.”
Saat itu, kami hanya mengedipkan mata berkali-kali sambil mencoba menafsirkan kata-katanya. Pudin dan Hamid selalu menyisakkan satu koran untuk dibaca kalau “jam kerja” sudah selesai. Merasa sangat rugi menjadi gelandangan yang tak tahu wawasan. Meski terkadang kami –aku dan david- capek mendengar ocehan mereka berdua yang sok tau. Tapi itu lebih baik daripada tak punya keinginan menjadi pintar. Maka, mereka memilih menyisakan satu koran. Inginnya hanya satu koran, tapi yang tersisa terlalu sering lebih banyak dari satu.  
Melihat wajah kami yang sulit. Maksudku, melihat wajah kami yang kesulitan menafsirkan kata-katanya. Ia lantas menjabarkannya. Andaikan Hamid tak tidur waktu itu, aku pasti bisa bertanya padanya. Ia pasti mengerti. Pudin terlalu galak kalau sudah bicara dan mbulet.
“Kita, pengejar mimpi tak ubahnya seorang pembunuh. Selalu mencari celah untuk beraksi. Celah manusia selalu ada, pembunuh ulung akan segera bergerak dengan rapi untuk melaksanakan misi. Celah sekecil mungkin harus bisa jadi momen maju, meski hanya satu langkah. Dan pengejar mimpi pun demikian, kan? Celah meraih mimpi selalu ada. Peluang sekecil apapun harus jadi momen maju meski hanya satu langkah. Kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan karena ada niat dari pelakukanya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!
“Kalian sadar ndak, kata-kata Bang Napi itu motivator untuk para pengejar mimpi. Kita harus berfikir terbalik. Kita adalah penjahat yang akan bergerak. Hal utama yang harus ada untuk membunuh juga mengejar mimpi adalah niat. Itu hal pokok yang tak boleh tidak ada. Dan jika hal tersebut sudah ada, yang harus kita bangun berikutnya adalah mencari kesempatan. Sudah jelas kan?”
Kami mengangguk, meski sebenarnya masih banyak tanda tanya.
“So, waspadalah harus dirubah, karena kita harus berfikir terbalik. Kita rubah waspadalah menjadi berusahalah, berusahalah...yeeeeeeeeeee” Ia mengangkat tangannya bersemangat seperti orang demo dan mengucapkannya berulang-ulang. Kami jadi ma’mum. Ikut-ikutan. Suasana gaduh.
Hamid terbangun, memang kami dengan bermata merah marah. Kami cepat-cepat diam. Ia tidur kembali.
(***)
Seperti yang sudah aku bilang. Apa yang aku takutkan terjadi. Aku sudah benar-benar kukuh dengan prinsipku tak usah mengatakan pada mereka tentang mimpiku. Agar mereka tak memarahiku kalau tidak setuju. Tapi mereka sendiri yang memaksa.
“Ayo cepat katakan. 7 tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggumu punya mimpi atau tinggal mengatakan mimpi yang sudah ada. Ayolah, para koruptor saja bisa keluar penjara lebih cepat 2 tahun darimu yang hanya sekedar untuk mengatakan mimpi”
Waktu itu aku masih tak bergeming. Masih saja tak bicara di tengah mimpi-mimpi mereka yang sudah berubah-rubah. Update terakhir tentang mimpi mereka, Pudin ingin jadi ketua satpol PP agar anak buahnya tidak terlalu kejam jika sedang beraksi.
Dapid menambah satu alasan untuk mimpinya menjadi pegawai jasa marga. Yaitu memberikan tempat berteduh pagi pengguna jalan dan memperbanyak halte. Agar para gelandangan semakin banyak lahan kerja –menggelandang- selain di lampu merah.
Sedangkan Hamid semakin ekstrim dengan mimpinya tentang tata negara. Sebelumnya ia ingin mengekspor para pejabat, kini ia malah ingin menempatkan mereka di sektor-sektor yang harus kerja berat. Contoh memulung, nguli. Agar mereka sadar dan tau bagaimana cara memberdayakan diri dengan baik.
Dan aku, ya,,,masih sama seperti sebelumnya. Tak berubah. Juga masih belum berubah tentang keinginanku untuk tak mengatakannya.
Sampai pada saat semuanya berserakan. Aku dipaksa, meski bersikeras tak mau. Mereka menodongku.
“Kalau tidak mau bilang. Kita pergi, nih!”
Aku masih tak mengeluarkan suara. Sebelum mereka pergi, aku yang meninggalkan mereka lebih dulu. Mata mereka manandakan ada tanda tanya. Saling memandang satu sama lain.
Esok harinya kami bersama lagi seolah kemarin tak pernah terjadi apa-apa. Tapi paksaan itu muncul lagi. Kali ini tidak patut dikatakan paksaan. Mereka lebih bersikap menyadarkan. Pudin jadi juru bicara, dan....mbulet.
“Kita berjalan ke depan. Dan semakin jauh meninggalkan masa lalu” stop dulu. Harus aku katakan, dalam kata-katanya nanti akan ada kata-kata nyastra. Ia memaksakan diri untuk menunjukkan dirinya sebagai sastrawan. Tapi ia punya potensi ke-mbulet-an yang nyata. Memaksaku semakin sulit paham ucapannya.
Play! Ini lanjutan kata-katanya.
“Kamu sekarang berada di tempat di mana kamu tak lagi berpijak di tempat lamamu. Kamu bergerak dalam meraih mimpi. kehidupan punya batas waktu. Kami tak akan bisa berbuat apa-apa jika kamu tak mau mengatakannya. Kami pun ingin menjadi kawanmu yang punya arti dalam kehidupanmu dengan ikut menjungjungmu menggapai mimpi. Ayolah, kita dikejar waktu”
“Tak apa. Aku tak ingin membuat kalian ikut bingung dengan mimpiku”
“Kami temanmu”
“Tapi kebingungan bukan teman kalian”
“Kita hancurkan kebingunganmu bersama-sama”
“Jangan-jangan malah kita semua yang akan dililit kebingungan”
“Tak akan!”
“Berjanjilah kita tetap bersama jika aku mengatakan mimpiku!”
“Kami berjanji” kali ini mereka serempak, tanpa komando.
Aku menghela nafas, menyiapkan kata.
“Aku ingin kita semua menjadi gelandangan saja”
“he?” Mereka serempak kage, sekali lagi, tanpa komando.
“Iya”
“Teruskan,,,teruskan,,,,” Hamid berucap.
“iya. Gelandangan! Bukankah kita semua sudah punya prinsip yang sama bahwa menggelandang bukan profesi rendahan. Jika kita merasa sukses dengan menjadi gelandangan. Kenapa mencari yang lain. Mimpi kita disini dan akan kembali kesini”
Aku terdiam sejenak. Mereka juga terdiam. Wajah mereka menunjukkan kecewa.
“Kita sudah menjadi diri kita disini. Tak perlu menjadi suatu hal yang kita sendiri sebenarnya belum tau, sanggup atau tidak mengemban mimpi kita. Kita harus belajar ekolistik, ietsar. Jika kita meraih mimpi kita yang tinggi, pasti akan muncul orang lain yang akan mengisi posisi buruk kita sekarang. Kita tidak mencari populerkan?” mereka mengangguk. Tak bersuara. Menghayati ucapanku, mungkin.
“Dan jika ada orang yang mendapati posisi yang sudah kita impikan. Sadar atau tidak sadar. Itu semua karena andil kita. Kita tak ingin populer, jadi tak perlu bilang pada mereka kalau kita yang punya andil atas posisi yang mereka duduki. Sebab jika kita yang duduk diposisi mereka. Bisa jadi mereka yang akan mengisi kita sekarang di jalanan”
Setalah aku mengucapkan mimpiku, tak ada yang bersuara. Mereka seperti tak bersemangat. Dan mulai saat itulah masa buruk datang. keesokan harinya mereka sudah tidak lagi bersamaku. Membuat geng sendiri. Apa salahku? Yang salah itu mereka. Mereka sudah berjanji tak akan meninggalkanku dan terus bersama jika aku mengatakan mimpiku. Halah, nyatanya juga omong kosong.


Seperti mantan pacarku saja.


Salam


2 komentar:

  1. apa hubunganya sama mantan pacar mbak he

    BalasHapus
  2. Jleb jleb jleb jleb. Pas mbaca ini jlab jleb mulu mas tiap paragrapnya. Mas moti punya dulur yang jago nulis ternyata nggak rugi, bakatnya telah nular.

    Aku suka cerpennya. Kemarin mau bw tapi takut ngga bisa menghayati soalnya waktunya nggak pas. Dan pagi hari ini setelah mbaca dari yang part 1, sudah langsung jatuh cinta dengan "sudut pandang" dan "cara berpikir" penulis yang memikat pembaca. Apalagi pas yang menyatakan bahwa kebanyakan, bukan sekolah yang mereka inginkan. haha, itu bener juga.

    Dua jempol deh buat cerpen ini. Unik. Menggelitik.

    Tapi satu sing bikin aku penasaran, mas. Rodok mengganjal. Kalau si tokoh mulai nggelandang sejak usia 5 tahun, dan mungkin kebanyakan dari teman-temannya juga mulai dari balita, dan mereka nggak pengin sekolah, lantas bagaimana bisa mereka pandai membaca?

    BalasHapus