Sebelumnya, --<<Impian Tepi Jalan (1)>>--
Dan benar pula kataku, maksudku harapanku, bukan! bukan!
bukan harapan, semacam hal yang memang ditakutkan. Aku tak tau namanya. Intinya
masa yang aku takutkan itu terjadi. Ya, seperti itulah. Sulit merumuskannya,
dan wajar. Aku gelandangan.
Ehehehe, menjadikan gelandangan sebagai dalih wajar untuk
bodoh, itu sering terjadi pada kami. Aku sendiri kadang juga melakukannya,
hanya agar orang simpati dengan nasib yang kami derita, dan hal itu bisa memudahkan
kami mendapatkan uang mereka. Meski sebenarnya tak separah yang mereka lihat
juga. Kami merauk banyak uang dengan menjadi gelandangan. Ya, walaupun
terkadang “penarik pajak non-resmi” datang tak diundang. Kalau mau tetap sehat,
beberapa uang harus berpindah tangan.
Tapi aku mulai tobat untuk merendahkan diri sebagai
gelandangan. Ini karena Pudin, ia terlalu kasar menjadi seorang laki-laki. Semoga
ia nanti tak akan melakukan pada istrinya.
“Kenapa orang diluar sana banyak yang sukses ya?” Gumamku
suatu hari ketika berjalan di trotoar bersama pudin. Menunggu lampu merah
menyala. “Dan tak banyak dari kita yang bisa melakukannya. Mungkin karena kita
gelandangan”
Priaaaak, tulang gerahamku ngilu. mungkin mlengse.
Pudin menghantam ragangku. Pukulannya telak, aku memegangi dan mengusap daerah
yang terasa sakit. Tak tahu gunannya untuk apa, reflek memegangnya saja.
“Sekali lagi kamu merendahkan dirimu sebab menjadi
gelandangan. Aku akan lebih kejam dari ini” Pudin berkoar sambil menuding
wajahku. Aku tak mengerti ada apa.
Belakangan aku tau, ketika kami berdiskusi sambil
menunggu lampu menyala. Ia merasa semua orang punya kesempatan sama untuk
meraih mimpi. Gelandangan atau orang akademisi sama saja. Yang kita harus
lakukan adalah, menjadi pembunuh yang ulung dengan tekad yang kuat. Itu inti
perkataanya yang aku tangkap. Semoga tak salah tafsir. Ia terlalu mbulet
kalau sudah bicara.
Kami memang sering berdiskusi kalau sedang menunggu lampu
merah menyala. Selalu seperti itu. Kami tak perlu sekolah untuk mengenal warna.
Sejak kecil kami diajari 3 warna pilar kehidupan para gelandangan. Merah,
kuning, hijau. Merah adalah warna kemenangan kami. Kuning tanda siaga. Kami bisa
menangis saat warna lampu hijau tak kunjung padam.
Katanya, “Mimpi diraih bukan karena dari mana kita
berasal. Tapi bagaimana kita mengejar.”
Saat itu, kami hanya mengedipkan mata berkali-kali sambil
mencoba menafsirkan kata-katanya. Pudin dan Hamid selalu menyisakkan satu koran
untuk dibaca kalau “jam kerja” sudah selesai. Merasa sangat rugi menjadi
gelandangan yang tak tahu wawasan. Meski terkadang kami –aku dan david- capek
mendengar ocehan mereka berdua yang sok tau. Tapi itu lebih baik daripada tak
punya keinginan menjadi pintar. Maka, mereka memilih menyisakan satu koran. Inginnya
hanya satu koran, tapi yang tersisa terlalu sering lebih banyak dari satu.
Melihat wajah kami yang sulit. Maksudku, melihat wajah
kami yang kesulitan menafsirkan kata-katanya. Ia lantas menjabarkannya.
Andaikan Hamid tak tidur waktu itu, aku pasti bisa bertanya padanya. Ia pasti
mengerti. Pudin terlalu galak kalau sudah bicara dan mbulet.
“Kita, pengejar mimpi tak ubahnya seorang pembunuh.
Selalu mencari celah untuk beraksi. Celah manusia selalu ada, pembunuh ulung
akan segera bergerak dengan rapi untuk melaksanakan misi. Celah sekecil mungkin
harus bisa jadi momen maju, meski hanya satu langkah. Dan pengejar mimpi pun
demikian, kan? Celah meraih mimpi selalu ada. Peluang sekecil apapun harus jadi
momen maju meski hanya satu langkah. Kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan
karena ada niat dari pelakukanya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah!
Waspadalah!
“Kalian sadar ndak, kata-kata Bang Napi itu
motivator untuk para pengejar mimpi. Kita harus berfikir terbalik. Kita adalah
penjahat yang akan bergerak. Hal utama yang harus ada untuk membunuh juga
mengejar mimpi adalah niat. Itu hal pokok yang tak boleh tidak ada. Dan jika
hal tersebut sudah ada, yang harus kita bangun berikutnya adalah mencari
kesempatan. Sudah jelas kan?”
Kami mengangguk, meski sebenarnya masih banyak tanda
tanya.
“So, waspadalah harus dirubah, karena kita harus berfikir
terbalik. Kita rubah waspadalah menjadi berusahalah, berusahalah...yeeeeeeeeeee”
Ia mengangkat tangannya bersemangat seperti orang demo dan mengucapkannya
berulang-ulang. Kami jadi ma’mum. Ikut-ikutan. Suasana gaduh.
Hamid terbangun, memang kami dengan bermata merah marah.
Kami cepat-cepat diam. Ia tidur kembali.
(***)
Seperti yang sudah aku bilang. Apa yang aku takutkan
terjadi. Aku sudah benar-benar kukuh dengan prinsipku tak usah mengatakan pada
mereka tentang mimpiku. Agar mereka tak memarahiku kalau tidak setuju. Tapi
mereka sendiri yang memaksa.
“Ayo cepat katakan. 7 tahun bukan waktu yang sebentar
untuk menunggumu punya mimpi atau tinggal mengatakan mimpi yang sudah ada. Ayolah,
para koruptor saja bisa keluar penjara lebih cepat 2 tahun darimu yang hanya
sekedar untuk mengatakan mimpi”
Waktu itu aku masih tak bergeming. Masih saja tak bicara
di tengah mimpi-mimpi mereka yang sudah berubah-rubah. Update terakhir tentang
mimpi mereka, Pudin ingin jadi ketua satpol PP agar anak buahnya tidak terlalu
kejam jika sedang beraksi.
Dapid menambah satu alasan untuk mimpinya menjadi pegawai
jasa marga. Yaitu memberikan tempat berteduh pagi pengguna jalan dan memperbanyak
halte. Agar para gelandangan semakin banyak lahan kerja –menggelandang- selain
di lampu merah.
Sedangkan Hamid semakin ekstrim dengan mimpinya tentang
tata negara. Sebelumnya ia ingin mengekspor para pejabat, kini ia malah ingin
menempatkan mereka di sektor-sektor yang harus kerja berat. Contoh memulung,
nguli. Agar mereka sadar dan tau bagaimana cara memberdayakan diri dengan baik.
Dan aku, ya,,,masih sama seperti sebelumnya. Tak berubah.
Juga masih belum berubah tentang keinginanku untuk tak mengatakannya.
Sampai pada saat semuanya berserakan. Aku dipaksa, meski
bersikeras tak mau. Mereka menodongku.
“Kalau tidak mau bilang. Kita pergi, nih!”
Aku masih tak mengeluarkan suara. Sebelum mereka pergi,
aku yang meninggalkan mereka lebih dulu. Mata mereka manandakan ada tanda
tanya. Saling memandang satu sama lain.
Esok harinya kami bersama lagi seolah kemarin tak pernah
terjadi apa-apa. Tapi paksaan itu muncul lagi. Kali ini tidak patut dikatakan
paksaan. Mereka lebih bersikap menyadarkan. Pudin jadi juru bicara, dan....mbulet.
“Kita berjalan ke depan. Dan semakin jauh meninggalkan
masa lalu” stop dulu. Harus aku katakan, dalam kata-katanya nanti akan ada
kata-kata nyastra. Ia memaksakan diri untuk menunjukkan dirinya sebagai
sastrawan. Tapi ia punya potensi ke-mbulet-an yang nyata. Memaksaku semakin
sulit paham ucapannya.
Play! Ini lanjutan kata-katanya.
“Kamu sekarang berada di tempat di mana kamu tak lagi
berpijak di tempat lamamu. Kamu bergerak dalam meraih mimpi. kehidupan punya
batas waktu. Kami tak akan bisa berbuat apa-apa jika kamu tak mau mengatakannya.
Kami pun ingin menjadi kawanmu yang punya arti dalam kehidupanmu dengan ikut
menjungjungmu menggapai mimpi. Ayolah, kita dikejar waktu”
“Tak apa. Aku tak ingin membuat kalian ikut bingung
dengan mimpiku”
“Kami temanmu”
“Tapi kebingungan bukan teman kalian”
“Kita hancurkan kebingunganmu bersama-sama”
“Jangan-jangan malah kita semua yang akan dililit
kebingungan”
“Tak akan!”
“Berjanjilah kita tetap bersama jika aku mengatakan
mimpiku!”
“Kami berjanji” kali ini mereka serempak, tanpa komando.
Aku menghela nafas, menyiapkan kata.
“Aku ingin kita semua menjadi gelandangan saja”
“he?” Mereka serempak kage, sekali lagi, tanpa komando.
“Iya”
“Teruskan,,,teruskan,,,,” Hamid berucap.
“iya. Gelandangan! Bukankah kita semua sudah punya
prinsip yang sama bahwa menggelandang bukan profesi rendahan. Jika kita merasa
sukses dengan menjadi gelandangan. Kenapa mencari yang lain. Mimpi kita disini
dan akan kembali kesini”
Aku terdiam sejenak. Mereka juga terdiam. Wajah mereka
menunjukkan kecewa.
“Kita sudah menjadi diri kita disini. Tak perlu menjadi
suatu hal yang kita sendiri sebenarnya belum tau, sanggup atau tidak mengemban
mimpi kita. Kita harus belajar ekolistik, ietsar. Jika kita
meraih mimpi kita yang tinggi, pasti akan muncul orang lain yang akan mengisi
posisi buruk kita sekarang. Kita tidak mencari populerkan?” mereka mengangguk.
Tak bersuara. Menghayati ucapanku, mungkin.
“Dan jika ada orang yang mendapati posisi yang sudah kita
impikan. Sadar atau tidak sadar. Itu semua karena andil kita. Kita tak ingin
populer, jadi tak perlu bilang pada mereka kalau kita yang punya andil atas posisi
yang mereka duduki. Sebab jika kita yang duduk diposisi mereka. Bisa jadi
mereka yang akan mengisi kita sekarang di jalanan”
Setalah aku mengucapkan mimpiku, tak ada yang bersuara.
Mereka seperti tak bersemangat. Dan mulai saat itulah masa buruk datang.
keesokan harinya mereka sudah tidak lagi bersamaku. Membuat geng sendiri. Apa
salahku? Yang salah itu mereka. Mereka sudah berjanji tak akan meninggalkanku
dan terus bersama jika aku mengatakan mimpiku. Halah, nyatanya juga omong
kosong.
Seperti mantan pacarku saja.
Salam
apa hubunganya sama mantan pacar mbak he
BalasHapusJleb jleb jleb jleb. Pas mbaca ini jlab jleb mulu mas tiap paragrapnya. Mas moti punya dulur yang jago nulis ternyata nggak rugi, bakatnya telah nular.
BalasHapusAku suka cerpennya. Kemarin mau bw tapi takut ngga bisa menghayati soalnya waktunya nggak pas. Dan pagi hari ini setelah mbaca dari yang part 1, sudah langsung jatuh cinta dengan "sudut pandang" dan "cara berpikir" penulis yang memikat pembaca. Apalagi pas yang menyatakan bahwa kebanyakan, bukan sekolah yang mereka inginkan. haha, itu bener juga.
Dua jempol deh buat cerpen ini. Unik. Menggelitik.
Tapi satu sing bikin aku penasaran, mas. Rodok mengganjal. Kalau si tokoh mulai nggelandang sejak usia 5 tahun, dan mungkin kebanyakan dari teman-temannya juga mulai dari balita, dan mereka nggak pengin sekolah, lantas bagaimana bisa mereka pandai membaca?