Menunggu


“Apa tidak pengap disini? seharusnya kamu dirumah saja”
Seharusnya juga tak muncul pertanyaan seperti itu. Ia sendiri juga merasakan pengapnya ruangan ini. Dan semua orang yang berada disini pun akan memilih di rumah. Menikmati teh sangat di rumah bersama keluarga.
Seharusnya pula, aku memang tak ada disini. Untuk apa juga, disini hanya bisa menghabiskan sisa hidup dengan cara yang buruk. Laki-laki di rumah yang seharusnya ada disini. Aku tak ingin lagi menyebutnya suami. Perutku mual dan ingin memuntahi wajahnya setiap kali tersebut kata itu. Aku ini perempuan terhormat, dan ia laki-laki yang berengsek. Aku tak pantas disini.

“Pak!” Panggilku pada petugas. Aku tak betah dengan keadaan ruangan ini. Aku ingin cahaya yang lebih terang dari lampu 5 watt ini, lebih terang sedikit saja pun tak apa. Lampu remang-remang ini belum sanggup menerangi gelapnya jiwaku.
Laki-laki berbadan tegap itu kini berdiri dihadapanku
“Pak, tolong bawakan saya cahaya matahari. Cepat! Aku tak suka menunggu”
“kau gila!” ucapnya melotot.
“Suamiku yang gila. Bukan aku!”
“Dasar Gila. Rumah sakit jiwa lebih pantas untukmu”
“Polisi gila!” ucapku, lalu meludahi wajahnya.
{i-i-i-i-i-i-i-i}
Bayi ditanganku merengek, sepertinya minta susu. Sayangnya saudaranya sedang asyik dengan puting ibunya. Ia harus menunggu giliran dan belajar bersabar sejak dini. Aku menimangnya mondar mandir agar tak menangis sambil menunggu saudaranya selesai dengan puting ibunya. Ibu-ibu yang lain pun sedang sibuk dengan anak-anak mereka.
Ibu dari bayi yang aku gendong meletakkan saudara dari anaknya yang ada ditanganku. Lantas menuju kearahku untuk mengambil saudara dari anaknya yang sudah ia letakkan di kasur tempat tidurnya. Andaikan ia anakku, tentu tak kuberikan. Sayangnya ia memang ibu dari anaknya.
“Kamu kapan punya momongan?”
Aku tersenyum kecewa dengan pertanyaannya. Semoga tidak mengandung unsur ledekkan. Memangnya istri mana yang tidak ingin punya anak dan berubah strata menjadi seorang ibu? Aku pun juga ingin.
“Hati-hati lho, jeng! Jangan-jangan disana sudah punya yang baru”
Sebenarnya aku jauh lebih tidak suka dengan ucapan blak-blakan dari mulutnya. Seperti juga dari ibu muda lainnya.
“Bang thoyyib saja kalah” riuh tawa membuat jantungku terasa lebih cepat berdetak.
Ucapannya memang tidak salah. Suamiku sudah 4 tahun tidak pulang, dan melebihi bang Thoyyib yang baru 3 kali puasa 3 kali lebaran, yang berarti masih berada satu level dibawah suamiku. Ia meninggalkanku sebulan setelah pernikahan masal yang kami lakukan bersama pasangan-pasangan lain. Nikah masal yang diadakan oleh salah satu calon kepala desa waktu itu. Meski apa yang ibu muda katakan tersebut fakta, tapi tetap saja aku tidak suka celotehnya.
Terkadang jengkel juga dengan suamiku sebab tak pernah pulang dan menjadi cibiran banyak orang. Tapi aku adalah bagian dari tulang rusuknya yang harus menguatkannya. Malati –pamalih- kalau jengkel pada suami. Aku pun juga ingin menjadi istri yang baik dan tentunya juga ingin menjadi seorang ibu. Dan yang bisa aku lakukan toh hanya sabar dan menanti kedatangannya dengan kabar gembira yang akan ia bawa.
Semua perempuan seangkatanku –angkatan nikah masal- sudah punya anak. Bahkan Mira yang saat itu masih berumur 15 tahun yang 2 tahun lebih muda dariku pun sudah punya 2 anak. Sedang aku? Setengah pun belum.
Aku sering mengirim surat ke tempat suamiku bekerja di luar pulau sana. Aku katakan padanya.
“Perempuan-perempuan yang seangkatan pernikahan kita semuanya sudah punya momongan. Apa kamu tidak ingin pulang dan memberikan kabar gembira tersebut padaku juga. Bahkan disini pun sekarang banyak gadis-gadis yang sudah hamil meski belum punya suami. Aku punya suami. Tapi tak kunjung hamil. Apa kamu tidak ingin perutku pun membesar seperti perut-perut perempuan lain dengan isi jabang bayi dari buah cinta orang tuanya? Mas, aku pun juga ingin merasakan sensasi hamil dan menjadi seorang ibu. Tidakkah sampean juga ingin aku hamil dan menjadi ibu dari anak-anakmu?”
Mungkin aku terlalu terbawa naluri perempuan untuk menang sendiri dan agak egois, bahkan terkadang pun manja pada suami. Tapi bukankah ini naluriah seorang perempuan? Dan manja bukankah menjadi wajar pula, sebab ia memang naluriah? Kurang lebih begitu yang kubaca dari buku femail braind yang aku pinjam dari sari –sari, anak kepala desa yang mengadakan nikahan masal 4 tahun lalu--
Aku kecewa ia 6 bulan ini tak membalas suratku setelah aku mengirim satu surat, dua, tiga surat yang tak kunjung dibalas. Tapi aku yakin ia masih hidup dan masih setia sepertiku. Meski mungkin akan ada banyak perempuan yang menggodanya. Sebab istrinya setia, dan dia akan setia. Ia harus demikian, karena aku demikian.
Hendro, anak tetangga sebelah sering datang ke rumah. Dengan alasan menemui bapak, membawakan makanan dari ibunya, membawa oleh-oleh, dan lain-lain. Intinya sama, ia ingin bisa bicara denganku dan membujukku agar mau dengannya. Bahkan tak jarang menjelek-jelekkan suamiku.
“suamimu itu dulu suka judi, mabuk, dan toh dia berasal dari keluarga yang tak mampu. Apa alasanmu menikah dengannya? Dan ia kini tak kunjung pulang. Mungkin ia kumat disana dengan sifat masa lalunya. Lebih baik bercerai dan menikah denganku. Aku punya banyak sawah, perusahaan, bla-bla-bla” aku melihat mulutnya berbusa seperti keracunan. Mungkin otaknya memang sudah keracunan.
“Cuih....” Lirihku dalam hati. Apa dia pikir cinta hanya soal padi di sawah.
“maaf, aku belum mencuci piring” aku meninggalkannya yang belum selesai bicara. Aku sering menggunakan jurus itu untuk menghindari celotehnya yang memuakkan. Atau terkadang “maaf, aku sedang memasak” dan lain sebagainya. Ia tidak tahu, perempuan punya pertimbangan berbeda dengan laki-laki yang cenderung terlalu logis. Dan perempuan tidak bisa demikian.
 Hendro mungkin sudah gila, seumpama pun suamiku kini masih berstatus pacar, aku tak mungkin mengkhianati suamiku dan bersedia dengan laki-laki tambun seperti bapaknya itu. Aku harus menjadi perempuan yang baik. Bahkan dengan janji-janji setia yang terkadang dianggap gombal pun tak boleh ingkar. Aku menghargai cinta. Dan aku yakin suamiku pun demikian.
Memang kemiskinanlah yang membuat kita ikut pernikahan masal. Kalau bukan masalah ekonomi, akan aku tandingi artis-artis yang menikah menghabiskan uang milyaran, lantas 3 bulan setelahnya bercerai. Harusnya aku, dan teman-teman yang lain lebih pantas untuk menikah dengan dana sebesar itu. Pernikahan kami sudah lebih dari 3 bulan, kini 4 tahun. lebih dari lamanya pernikahan para artis. Meski aku selama itu pula aku tak bertemu suamiku. Dan semoga ia masih hidup. Itu doaku tiap saat.
Terakhir kali, suamiku mengirim surat spesial. Dan aku kliping dengan matrei sebagai bukti ia pernah menulisnya
“kontrakku hampir habis. Mungkin 1 tahun lagi selesai. Sabar ya, sayang. Aku akan segera pulang dan membawakan sebuah surprise untukmu. Aku janji”
Dan aku membawa surat itu kepada Dasih, istri teman suamiku bekerja. Ia tak pernah mengirim surat kepada suaminya. Suaminya pun tak pernah mengirim surat untuknya. Malang sekali nasib mereka. Aku berharap surat ini akan jadi kabar bahagia untuknya dan suaminya akan pulang bersama suamiku.
Nasib orang-orang seperti kami memang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Andaikan sekolah kami dulu seperti sekolah di kota-kota yang hanya bisa diduduki oleh orang kaya dengan guru yang profesioanal karena ada uang. Mungkin tak seperti ini pernikahan kami. Dan mungkin pula perceraian tak se-semarak-sekarang. Sebab orang kaya dijadikan contoh banyak orang, dan ketika kami yang kaya, kami akan memberi contoh yang baik. Itu mimpi perempuan-perempuan desa ketika dulu masih berada disekolah. Tapi kami sadar, hanya akan jadi mimpi.
Andaikan orang kaya sadar, perempuan desa memperjuangkan cinta suami seperti memperjuangkan cinta anak yang lahir dari rahim kami sendiri. Jalinan cinta itu tidak bisa dipatahkan oleh permasalahan kecil. Sebab perceraian artis-artis yang aku baca di koran bungkus sarapan itu tak jelas motifnya. Tiba-tiba cerai. Perempuan desa mencoba tidak menirunya. Apalagi aku. Aku mengharapkan kepulangan suamiku seperti menunggu kelahiran bayi dari rahimku. Bukti kesetiaan. Aku terus menunggu kepulangannya.
>>>>>>>>> 
“mana surprisenya, mas?” aku langsung menagihnya ketika ia pulang. Aku tak ingin menunggu, dan yang terpenting, aku tak ingin ia belajar menginkari janji. Dengan ia pulang, aku tak perlu khawatir ia kecantol dengan perempuan disana. Yang pasti, kini suamiku ada disini, dengan keadaan lebih gagah.
“oh, masih dibawa Sumar, mungkin sebentar lagi ia datang” Sumar, ia teman suamiku, suami Dasih. Rumahnya tak jauh. Mungkin tak lama akan datang. Meski aku tak sabar.
“mas, kita buat bayi dikamar dulu yuk” aku merengek manja. 4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk seorang perempuan berstatus istri tanpa mendapat nafkah bathin.
“sebantar toh, dik. Nunggu Sumar dulu, mungin sebentar lagi ia datang membawa surpriseku”
Menunggu pun tak apa. Yang penting kini suamiku sudah ada dihadapanku. Dan sebentar lagi, proses memiliki anak akan segera dilakukan. 4 tahun! bayangkan! 4 tahun! Dan aku kini bisa bermanja-manja dengannya.
Tak lama, mungkin bisa dibilang lama juga. Kata orang, menunggu adalah salah satu hal paling menjenuhkann. Aku sudah merasakannya 4 tahun, dan kini menunggu beberapa menit dengan serasa 1 bulan. Ia datang bersama istrinya yang menggendong seorang bayi. Setahuku anaknya sudah besar. Mungkin keponakannya, atau anak tetangga.
Sumar segera memberi salam dan menyerahkan sebuah bungkusan kotak pada suamiku yang langsung ia berikan padaku.
“Ini hadiahnya, sayang!”
Aku langsung membuka tanpa menunggu lama. Aku sudah bosan menunggu.
“wah, perhiasan. Terima kasih, sayang!” Ia memberiku gelang, kalung, cincin, anting-anting dari emas. Asli emas. Bukan kuningan. Dan soal tanggapanku yang agak lebay. Terkadang orang yang lama tidak bertemu bisa lebih alay dari anak muda yang sedang dimabuk cinta.
“sama-sama. Ada yang lebih spesial” suamiku menghadap ke belakang. Menghampiri istri Sumar. Membisikkan sesuatu.
Dasih mendekat padaku, membisikkan sesuatu. Aku naik pitam.
“Suami tak tahu diri. Suami bajingan. Laki-laki brengsek..aaaaaaaaarrrrrrrgggghhhhhhh” Aku meludahi wajahnya, 3 kali.
>>>>>>>>>> 
“Apa tidak pengap disini? seharusnya kamu dirumah saja” seharusnya juga tak muncul pertanyaan seperti itu. Ia sendiri juga merasakan pengapnya ruangan ini. Dan semua orang yang berada disini pun akan memilih di rumah. Menikmati teh hangat di rumah bersama keluarga.
Seharusnya pula, aku memang tak ada disini. Untuk apa juga, disini hanya bisa menghabiskan sisa hidup dengan cara yang buruk. Laki-laki dirumah yang seharusnya ada disini. Aku tak ingin lagi menyebutnya suami. Perutku mual dan ingin memuntahi wajahnya setiap kali tersebut kata itu. Aku ini perempuan terhormat, dan ia laki-laki yang berengsek. Aku tak pantas disini
Mimpi untuk mempunyai bayi dari rahimku musnah sudah. Laki-laki itu benar-benar bajingan. Ternyata ia membawa surprise berupa anak yang dibuatnya dengan perempuan lain disana. Lalu membawanya kepadaku sebagai hadiah sebab katanya aku pernah meminta anak darinya. Dia laki-laki bodoh. Aku bilang aku ingin hamil, dan punya anak. Ia laki-laki bodoh, mungkin CO² sudah memenuhi otaknya. Tapi aku tak perduli, juga tak ingin bersimpati sedikitpun. Ia laki-lai gila. Benar-benar gila.
Aku tak menunggu lama. Sudah aku bilang, aku bosan menunggu. Aku mengangkat kakiku, menendang bayi yang sedang duduk dihapanku, sangat keras, bahkan mungkin terlalu keras. Bayi itu lantas tersungkur dan mati seketika sebab kepalanya membentur batu. Lalu aku kepalkan tanganku sekuat-kuatnya, kuhantamkan rahangnya. Berdarah, bahkan sepertinya 2 giginya copot.
Aku tak ingin menunggu lama, menunggu bayi yang aku nanti bertahun-tahun pun kini aku tak lagi sudi. Cuih!
>>>>><<<<<
“Keprihatinan atas maraknya perceraian di Indonesia dan pengkhianatan dalam sebuah hubungan. Semoga lekas sembuh dengan sesembuh-sembuhnya”


Salam


Moti Peacemaker




4 komentar:

  1. Wah kalo aku yg jadi cewenya jg bakalan nyesek banget tuh, yaiyalah.. Udah setia gitu nungguin selama 4 tahun, biar ada yg naksir sm dia jg sampe ditolak brkali kali.. Ehh giliran udh ktmu suaminya malah bawa anak dari prmpuan lain._.

    Oiyaa ini keren banget loh kak tulisannya!
    Eh tapi itu endingnya serem bangeeett:(

    BalasHapus
  2. Emang cowok itu mahluk tak tau diuntung, sudah ditunggu 4 tahun eh dia selingkuh.

    Terus endingnya dia ngebunuh anak dari selingkuhannya gitu?

    BalasHapus
  3. Huf, menegangkan gitu ceritanya, Moc hahaha. AKu bacanya sambil menebak-nebak dan berpikir. Emang tulisan kamu bikin aku lelah berpikir karena kadang terlalu berat.

    Tapi ya, over all, aku sempet nebak juga sih surprise-nya itu soalnya di awal dijelasin dia benci suaminya. Keren banget nih cerita. Pantesan ya dulu kamu sempet bilang kalo kamu benci banget pengkhianatan. Bahkan sampe dibikin cerita segini keselnya sama yang namanya pengkhianatan. Kereeeenn, Moci!

    BalasHapus
  4. parah banget yak. bayi yang tak berdosa dibunuh begitu saja... sadis!
    perceraian itu emang udah parah banget presentasenya. makanya, sebelum nikah itu cari pasangan yang bener2 pas.. jangan asal milih

    BalasHapus