“Suatu saat pasti akan terlihat, apa yang terjadi dibalik
rumah yang tak berpenghuni itu. Karena itulah nyatanya. Ada apa-apa dibalik
ketiadaannya”
Kira-kira seperti itulah yang ada dibenak Parkun. Ia baru
saja berujar soal kejadian yang ia dirumah yang tak lagi berpenghuni yang berjarak
beberapa rumah dari kediamannya.
Seperti makhluk ghaib yang sedang bermain uang dan celana
dalam dengan suara seperti bersru tak jelas. Ia yang tak punya nyali hanya
mengamati. Parkun terkenal penakut sejak kecil. Kadang dengan nyamuk saja ia
lari terbirit-birit. Ia mendengar nyamuk bisa membawa sesorang kerumah sakit,
bahkan bisa membunuh manusia.
Ia tak mengenali bayangan itu. Posturnya normal seperti
tubuhnya. Semakin lama, bulunya semakin berdiri. Dan ia memilih lari. Seperti
ketika berhadapan dengan nyamuk.
Meski berita tentang hantu yang ia lihat itu geger alias booming dikampung. Tapi nyatanya banyak
orang yang tak percaya. Orang-orang di warung yang mendengarnya juga sama sekali
tak ada yang percaya. Malah cekikikan. Andaikan Parkun itu Rasul, pasti
akan ada Abu Bakar yang akan membenarkan apa yang dikatakannya. Sayangnya
parkun hanya seorang tambal ban.
Semua berawal dari problem kecil keluarga soal tipi yang
akhirnya dimenangkan oleh istrinya. Parkun memang selalu kalah dan lebih baik
mengalah. Istrinya tak bisa kompromi soal sinetron, kadang lupa sholat. Satu yang
tak mustahil terlupa adalah makan. Wajar kalau badannya seperti balon. Melembung.
Parkun yang bete pun memutuskan untuk jalan-jalan
keluar rumah. Sekedar cari nafas segar untuk membuang greget-nya yang
bisa-bisa memuncak dengan liat TV dengan acaranya yang menurutnya sama sekali
tak mendidik. Kecuali sepak bola. Masih menurutnya lagi, sepakbola memberi
imunitas bagi orang desa dengan falsafah kehidupan yang ia yakini. Menyerang
kehidupan dengan tetap menjaga benteng pertahanan tetap kokoh. Korelasi
kehidupan dengan kerja sama untuk meraih kemenangan. Keseimbangan hidup ketika
berada ditengah lapangan kehidupan. Dan mengusai permainan dengan ciri khasnya
dalam meraih kemenangan hidup.
Sayangnya parkun tak pernah sekolah, jadi
ia tak punya kredibiltas seperti mentor-mentor dalam seminar yang sekali
tampil langsung kebanjiran uang. Tapi parkun, meski cara berfikirnya seperti sarjana
S3 sekalipun tetap tak hanya mendapat 5.000 rupiah sekali nambal ban, walaupun
terkadang ia memberi bonus berbagi ilmu falsafah yang ia ketahui kepada
orang-orang yang kebocoran ban ditengah jalan. Mungkin itu sebabnya banyak
tetangga yang memilih berkumpul ditempat kerja Parkun. Ada mata kuliah gratis,
tanpa uang bulanan.
***-
“masak pak lek ini ndak percaya sama
saya?”
“ya bukannya tak percaya. Tapi itu
mustahil. Itu bukan rumah angker. Semua orang biasa lewat disana dan tak ada
apa-apa”
“ya itu namanya tak percaya, lek! Tapi
benar, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Sangat nyata” kang parkun
ngeyel dengan apa yang ia lihat
“istrimu percaya tentang hal ini?
“kenapa tanya soal istriku, mana perduli
ia dengan hal seperti ini. Ia hanya perduli TV dan makanan”
“huss..dia istrimu. Kau yang memilihnya
sendiri”
“ah,,,pak lek ini selalu seperti itu.
Sudah kubilang, aku nikah karena dulu emak yang milih, sebab orang tuanya kaya.
Itu faktor yang membuat emak menikahkanku dengannya”
“hussstt...sudah. semua telah berlalu.
Lantas, kalau aku percaya. Apa yang kau inginkan dariku”
“apa? Saya sendiri ndak tahu” Parkun
terdiam sebentar “Aku hanya butuh dukungan bahwa saya tidak berbohong. Itu
saja”
“apa keadaan atau apa yang terjadi itu kau
pikir akan berbahaya bagi keadaan desa?”
“entahlah, semoga tidak. Sebab nyatanya
tak ada yang percaya denganku. Dan bila seperti ini, yang bisa aku lakukan
bukankah hanya berharap bahwa ini bukan suatu hal yang berbahaya bagi keadaan
desa”
“berharaplah terus seperti itu. Semua akan
baik-baik saja. Jangan lagi coba-coba keluar malam hari. Dan kau tak akan lagi
melihatnya”
“semoga aku kuat dengan rasa penasaranku”
--o—
Semakin hari, istrinya semakin menikmati
keadaan dalam rumah. Seperti ratu. Ndak mau masak, nyuci, bahkan diajak begituan
pun tak mau. Parkun prustasi dengan keadaan rumah tangga yang tak pernah
harmonis. Ia ingin mencari udara segar seperti biasa. Tapi Mbah Dirman
melarangnya. Mungkin malam-malam yang ada dan tak terduga kadang-kadang
menghadirkan serigala, atau hewan lain yang sedang lapar. Tapi masalahnya itu
yang dibicarakan kemarin, ini soal matanya yang selalu peka dengan penampakkan
di belakang rumah sebelah yang tak berpenghuni.
Rasa grundel nya tak tertahan. Ia
tak perduli dengan keadaan. Berbekal baju oblong dan sarung, ia nekat keluar
dengan rasa nggrundel bercampur penasaran dengan makhluk yang ia lihat
biasanya.
Tapi semua tak seperti yang diharapkan.
Makhluk itu tak muncul. Ia amati dengan seksama, tak ada. Semakin gemetar
badannya. Bahkan lebih gemetar dari ketika melihatnya sedang ritual dibelakang
rumah, dengan uang dan celana dalamnya. Tapi rasa penasaran juga datang. Ini
mungkin lebih dilematis yang lebih berat daripada memilih kepala desa. Rasa
kesalnya jadi orang yang tidak dipercaya, meski ia bukan nabi, dan juga istri
yang tak menghargainya yang mendasari ia memilih untuk maju dan membuktikan
bahwa ia orang yang pantas dipercaya dan dihargai. Dan kalau pun harus datang dan
mati diserang hantu itu, itu mungkin lebih arif daripada harus menjalani hidup
tanpa korelasi. Lirihnya dalam hati.
Parkun melangkahkan kakinya, sedikit
didramatisir. Seperti film-film horor yang ada di bioskop. Tak ada apa-apa. Ia
terlalu terbawa film Indonesia yang memiliki tingkat imajinasi dan tingkat kebohongan
yang tinggi. Hanya semut dan burung yang tidur di atas beberapa pohon nangka
yang rimbun.
“hadah! Parkun berteriak
Semut-semut bergerilya bak tentara yang
menyerang musuh sepadannya. Tapi dengan jumlah balatentara yang sebanyak itu,
itu lebih menyulitkan daripada bertarung melawan maling jemuran yang semakin
marak. Apalagi ada juga semut yang terjun bebas dari pohon. Seperti TNI AU,
semut-semut berjatuhan, meleset. Ya, banyak tak tepat sasaran dan mati sia-sia.
Semoga keluarganya juga mendapat uang kompensasi dari kerajaan semut yang
menugaskannya.
Beuh...semut sudah masuk kedalam
sarungnya, bergerilya. Andaikata semut itu berbentuk luna maya atau aura kasih,
mungkin parkun bisa menikmati gigitannya. Sayangnya semut tak mau menjelma
menjadi luna maya. Dan tetap menjadi semut. Menggigit pahanya. Parkun bak orang
terbakar. Bergerak dengan gaya bebas. Bah, bahkan sarung dan celana dalam kini
sudah terlepas. Ini bukan porno. Tapi darurat. Ia harus menyelamatkan
senjatanya dari serangan semut yang mungkin menganggap barang milik Parkun
terasa manis.
Parkun hanya bisa melakukan pertahanan
terakhir untuk mempertahankan barangnya tetap aman. Tangan bergerak mengusir
semut yang bersemangat meraih itunya Parkun.
Ladalah...tiba-tiba suasana senyap berubah
jadi ramai. Warga-warga berjalan berbarengan. Menuju ke arah Parkun. Duh,
betapa bahagianya parkun ada yang menolong. Jari-jari warga menunjuk Parkun
yang sedang berhadapan dengan semut. Ia ingin melonjak sebab rasa bahagia.
Ternyata warga seperhatian itu padaku. Mereka pasti akan menolongku. Pikirnya.
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrgghhhhhhhhhhhhhh”
jeritan ibu-ibu serempak.
Adakah hantu datang? Sayangnya tidak sama
sekali.
Para ibu-ibu itu menutup tanya dengan
jari-jari tangannya. Tentu harus terus diingat. Bahwa Parkun masih dalam
keadaan tak bercelana. Alias bugil. Tapi entahlah...jari perempuan-perempuan
itu kadang direnggang. Memberikan ruang untuk matanya bisa mengamati apa yang
terjadi. Atau mungkin membandingkan milik Parkun dengan milik suami mereka.
“Itu..itu” suara laki-laki menunjuk
parkun.
“iya, itu,,,saya lihat sendiri. Ternyata
Parkun sehina itu. Kita bunuh saja dia” tambah salah seorang
“iya..aku lihat dia datang kekamar dan
sedang merayu istriku”
“aku juga melihatnya dirumahku”
“iya sama”
“iya sama” semua serempak setuju.
Parkun tak perduli dengan apa yang mereka
katakan. Yang jadi salah saat ini adalah bagaimana ia menutupi kemaluan ruhani
dan jasmaninya.
“ayo..ayoo..kita bunuh parkun sekarang
juga” beuh..gegerlah. Semua warga mendekat kecuali ibu-ibu.
Yang bisa dilakukan parkun hanya
membuang apa yang bisa dibuang untuk menghalang laju warga yang terlanjur
terbakar emosi. Uang, sarung, dan celana dalam yang berjatuhan mpun ikut ia
lemparkan. Ia membuangnya. Membuang uang dan celana dalamnya. Ritual mengusir
hal-hal yang membahayakan. Mungkin sebagian ruh parkun yang selama ini gladi
untuk kejadian ini. Atau setengah ruhnya yang selama ini beritual. Mungkin,
bisa jadi.
Salam
Moti Peacemaker