Kecintaan pada
menulis mungkin adalah salah satu kelangkaan dunia yang kini sedang gencar
dikumpulkan kembali. Ya, kembali. Peradaban pernah benar-benar “hidup” dengan
banyaknya tulisan yang menghiasi kehidupan, pemicu kemajuan. Kemajuan dalam
banyak hal, termasuk kemajuan berpikir. Membludaknya kaum intelektual yang
tidak hanya bicara, tapi menunjukkan kemuliaan cara berpikir mereka dengan
perilaku.
Ketegori orang
yang dianggap mumpuni dalam ilmu pengetahuan tidak pernah lepas dari tulisan. Pokok
tolok ukurnya adalah menulis. Penguasaan bidang kepenulisan dianggap sebagai
hal penting, yang tidak pernah boleh lepas dari sebuah peradaban. Belajar dari
sejarah yang membuktikan bahwa, banyaknya penulis sebagai katalisator tingkat
kecerdasan berpikir masyarakat yang tinggi.
Negara seperti
AS pun merasakan rendahnya kemampuan menulis adalah kelemahan yang merugikan. Berjuta-juta
dollar dan waktu dibuang sia-sia karena rendahnya keterampilan menulis
masyarakat, khususnya perguruan tinggi (Katrhin Tschiesche).
Kita bisa
melihat perbandingan kemampuan cara berpikir dari sebuah bangsa dari dua
sektor. Membaca, dan menulis. Penjagaan atas dua pilar tersebut terjadi di
negara-negara yang dianggap maju. Maka melepas buku adalah kekalahan bagi
mereka dan bangsa mereka.
Ada sebuah
anekdot yang “menghina” bangsa Indonesia. Tapi kenyataannya, mayoritas yang
terjadi memang demikian. Salah seorang sahabat dari Cirebon ketika masih di
pondok Amsilati Jepara dulu mengatakan. Saat itu sedang hujan.
“Perbedaan
mendasar pada diri orang jepang dan orang Indonesia pada buku dalam keadaan
hujan seperti sekarang. Ketika orang jepang membawa buku, ia akan
menyembunyikan bukunya agar tidak terkena air hujan. Meskipun menggunakan
dirinya sebagai payung untuk buku tersebut. Dan orang Indonesia agaknya terlalu
mahal untuk kehujanan. Maka ia menggunakan bukunya sebagai payung.”
Perlakuan yang
berbeda terhadap buku tersebut membuktikan bahwa kecintaan pada ilmu antara
negara kita dan negara jepang sangat timpang. Bukan berarti mendewakan jepang
dan mengecilkan Indonesia. Mengambil nilai positif dari negara lain untuk
kemajuan bangsa kita tentu sah. Kemajuan bangsa kita bukan untuk apapun,
kecuali membaiknya pengelolan kesejahteraan rakyat secara merata.
Siddi Da Luthfi
Muhammad pernah bertutur bahwa menulis tidak pernah menghasilkan kerugian
apapun dalam diri seseorang. Menjadi apa sekarang, ataupun esok hari, kita
tidak pernah punya alasan untuk meninggalkan menulis.
Bukan hanya
penulis yang harus menulis. Orang yang bekerja dibidang lain pun juga harus punya
kesadaran menulis. Kehidupan kita mesti diiring oleh ilmu pengetahuan. Dan
salah satu pilar pengetahuan tersebut adalah menulis.
Jiwa
keingintahuan kita terhadap sesuatu, dan keinginan untuk menuangkannya dalam
bentuk tulisan bisa jadi dianggap sebagai hal sederhana. Tapi ketika seseorang
tersebut sudah berkutat dengan kata-kata di otaknya, akan ada sesuatu yang
terbersit, hal baru, seperti kilatan, ide spontan, dan mungkin pula itu yang
disebut sebagai laduni –mungkin-.
Dan
kekhawatiran rendahnya kemampuan menulis dari orang Amerika yang disebutkan di
atas mungkin pula adalah sebauh ketakutan menurunnya kemampuan berpikir orang
disana. Tentu saja diluar konteks ketakutan kerugian yang diderita akibat
rendahnya kemampuan menulis tersebut.
Dunia
kapitalisme yang mereka anut tentu sah-sah saja untuk mengkhawatirkan rendahnya
kemampuan menulis warga disana. Kita, bangsa Indonesia, dalam hal ini tentu
tidak berkiblat pada sistem kapitalisme yang mereka anut. Lantas untuk apa kita
menulis?
Kita menulis
untuk memajukan Indonesia. Kemajuan sebuah bangsa didorong oleh cara berpikir
pendidikan yang maju pula. Dan seperti yang sudah saya sampaikan tadi, bahwa
salah satu pilar kemajuan cara berpikir adalah kesadaran menulis. Seorang yang
terus menulis dituntut untuk mencari referensi apa yang ditulis, inpirasi yang
akan ditulis. Dengan ketelatenan tersebut, seseorang akan dengan sadar pula
tentang pentingnya membaca buku sebagai referensi, dan menggali inspirasi.
Sektor
kepenulisan ini penting untuk mendapat perhatian dari pemerintah. Tentu saja
bukan kebetulan, seorang penulis kebanyakan adalah orang yang cerdas. Sebab
kecerdasan tersebt mendorong seseorang untuk menulis. Dan kegiatan menulisnya
menjadi penambag pengetahuannya sebab terus diimbangi dengan membaca dan
mencari referensi –data-.
Jika toh nantinya
kebiasaan menulis yang kita miliki tidak menjadikan kita sebagai sebuah bangsa
yang maju. Setidaknya kebudayaan kita tidak stagnan, apalagi dekaden. Kekayaan
kebudayaan yang kita miliki sangat pas bila ditunjang dengan kemampuan, kemauan
menulis orang indonesia.
Semoga segera
ada tuntutan nurani yang menggiring manusia Indonesia bersedia menulis. amiin
salam
Möti Peácemaker